Fiqh Archives - Darussalam Asy Syafii https://darussalam.or.id/category/fiqh/ Pusat Pembelajaran Fiqh Madzhab Asy-Syafi'i Tue, 25 Nov 2025 00:44:46 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.3 https://darussalam.or.id/wp-content/uploads/2019/08/cropped-ds-icon-32x32.png Fiqh Archives - Darussalam Asy Syafii https://darussalam.or.id/category/fiqh/ 32 32 Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat https://darussalam.or.id/2025/11/hukum-orang-yang-meninggalkan-shalat/ https://darussalam.or.id/2025/11/hukum-orang-yang-meninggalkan-shalat/#respond Sun, 23 Nov 2025 23:00:33 +0000 https://darussalam.or.id/?p=2254 Shalat adalah ibadah yang sangat agung dan kewajiban yang telah Allah syariatkan kepada setiap Muslim. Bahkan ibadah shalat adalah salah

The post Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Shalat adalah ibadah yang sangat agung dan kewajiban yang telah Allah syariatkan kepada setiap Muslim. Bahkan ibadah shalat adalah salah satu rukun dalam Islam. Namun demikian, ada kalanya sebagian hamba meninggalkan ibadah ini. Dalam hal ini, hukum meninggalkan shalat di waktunya berbeda-beda tergantung pada alasan atau keadaan yang melatarbelakanginya. Seseorang yang meninggalkan shalat tidak akan terlepas dari salah satu dari tiga keadaan berikut:

  • Keadaan Pertama: Meninggalkan Shalat karena Mengingkari dan Menolak Kewajibannya
  • Keadaan Kedua: Meninggalkan Shalat karena Lalai dan Malas
  • Keadaan Ketiga: Meninggalkan Shalat karena Uzur

Masing-masing dari ketiga keadaan tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Berikut penjelasannya menurut madzhab Syafi’i.

Keadaan Pertama: Meninggalkan Shalat karena Mengingkari dan Menolak Kewajibannya

Barang siapa yang telah memenuhi syarat wajib shalat yaitu seorang Muslim, berakal, telah baligh (dewasa), suci dari haid dan nifas (bagi perempuan), serta tinggal di negeri kaum Muslimin lalu ia meninggalkan shalat, menolak untuk melaksanakannya, dan mengingkari kewajibannya dengan sikap meremehkan, maka ia dihukumi kafir berdasarkan kesepakatan seluruh ulama. Hal ini disebabkan karena kewajiban shalat telah ditetapkan dengan dalil-dalil qath‘ī (قطعي) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta merupakan ajaran yang diketahui oleh setiap Muslim tanpa pengecualian. Oleh karena itu, shalat termasuk dalam perkara yang telah diketahui secara pasti dalam agama (مَعْلُومٌ مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ). Orang yang berada dalam kategori ini dianggap kafir karena telah mendustakan perintah Allah dan menolak ajaran serta teladan Rasulullah ﷺ. Bahkan, Rasulullah ﷺ mewasiatkan kepada umat Islam agar menjaga shalat, khususnya pada saat-saat terakhir menjelang wafat beliau.

Adapun hukum bagi orang yang meninggalkan shalat dalam keadaan seperti ini adalah bahwa ia ditangkap oleh hakim, kemudian diperintahkan untuk bertaubat kepada Allah, melaksanakan shalat, dan berkomitmen menjaga kewajibannya. Jika ia menerima perintah tersebut dan bertaubat, maka tobatnya diterima. Namun jika ia menolak, maka ia dihukum mati sebagai orang kafir, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.” (Shahihul Bukhari 3854)

Jika ia meninggal dalam keadaan tersebut, maka ia tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum Muslimin, karena ia tidak lagi termasuk dalam golongan mereka.

Adapun orang yang mengingkari kewajiban shalat dalam keadaan tidak mengetahui hukumnya karena baru masuk Islam atau berada dalam kondisi serupa, maka ia dikecualikan dari ketentuan hukum dikafirkan ini.

Keadaan Kedua: Meninggalkan Shalat karena Lalai dan Malas

Keadaan kedua adalah seseorang meninggalkan shalat karena lalai dan malas, namun tetap meyakini kewajibannya. Orang seperti ini tidak dihukumi kafir, tetapi telah melakukan dosa besar.

Dalam kasus ini, hakim (penguasa) akan memerintahkannya untuk segera melaksanakan shalat dan mengqodho shalat-shalat yang telah ditinggalkan, serta bertaubat dari kemaksiatan tersebut. Jika ia mau bertaubat, maka itu adalah hal yang sangat baik. Namun, apabila ia menolak bertaubat dan terus-menerus meninggalkan shalat, maka ia dikenai hukuman mati oleh hakim. Hukuman ini bukan karena ia dianggap kafir, tetapi sebagai bentuk hukuman had atas kemaksiatan besar yang dilakukannya.

Sebelum hukuman mati dilaksanakan, orang tersebut terlebih dahulu diminta untuk bertaubat. Jika tetap menolak, barulah hukuman dijatuhkan. Setelah eksekusi, jenazahnya tetap dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Harta peninggalannya tetap diwariskan kepada ahli warisnya sebagaimana ketentuan syariat.

Dasar dari hukuman ini adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ، حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَٰلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ، إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, maka darah dan harta mereka menjadi haram (tidak boleh ditumpahkan), kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka di tangan Allah.” (Shahih al-Bukhari 25 dan Shahih Muslim 22)

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang muslim tetap dapat diperangi jika meninggalkan shalat, meskipun ia telah mengucapkan syahadat. Namun, selama ia tidak mengingkari kewajiban shalat, ia tidak dihukumi kafir. Hal ini dipertegas oleh hadits dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا ٱسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ ٱللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ ٱلْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ، فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ ٱللَّهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ أدْخِلَه الجنة

“Lima shalat telah diwajibkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang menjaga pelaksanaannya dan tidak meremehkan sedikit pun dari hak-haknya, maka dia memiliki perjanjian dengan Allah untuk dimasukkan ke dalam surga. Dan barang siapa yang tidak menjaganya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah; jika Allah menghendaki, Dia akan mengazabnya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan memasukkannya ke dalam surga.” (Sunan Abu Dawud 1420, Sunan An Nasa-i 461, Sunan Ibnu Majah 1401, Imam An Nawawi menyatakan bahwa hadits ini shahih di Al Majmu’ 3/516)

Sementara itu, hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berikut ini:

إنّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشرك والْكُفْرِ تَرْك الصَّلَاةِ

“(Pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim 82)

dipahami sebagai ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat dalam keadaan menentang, mengingkari, meremehkan, atau bahkan mengolok-olok kewajiban shalat. Dalam kondisi seperti itu, barulah seseorang dihukumi kafir.

Keadaan Ketiga: Meninggalkan Shalat karena Uzur

Keadaan ketiga yang menyebabkan seseorang meninggalkan shalat adalah karena adanya uzur syar’i di luar kehendaknya, seperti sakit, lupa, tertidur, pingsan, gila, atau kondisi serupa lainnya. Dalam situasi seperti ini, orang tersebut tidak berdosa. Namun, ia tetap wajib mengganti (mengqodho) shalat yang tertinggal tersebut.

Pelaksanaan qodho shalat ini bersifat muwassa’, artinya bisa dilakukan kapan saja, selama tidak disertai sikap meremehkan atau menunda-nunda secara sengaja. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَن نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذلكَ

“Barang siapa yang lupa dari suatu shalat, maka hendaklah ia melaksanakannya ketika ia ingat. Tidak ada kafarah baginya selain itu.” (Shahih Muslim 684)

Berikut ini adalah penjelasan beberapa jenis uzur yang menjadikan seseorang tidak berdosa jika tidak melaksanakan shalat pada waktunya:

  1. Tidur

Yang dimaksud dengan uzur tidur adalah:

  • Tidur sebelum masuk waktu shalat, tanpa pengecualian.
  • Tidur setelah masuk waktu shalat, namun dengan dugaan kuat bahwa ia akan bangun sebelum waktu shalat habis atau setelah ia berwasiat kepada seseorang yang terpercaya untuk membangunkannya sebelum waktu shalat berakhir.
  1. Lupa

Lupa dianggap sebagai uzur syar’i jika tidak disebabkan oleh perbuatan haram (misalnya mabuk akibat konsumsi minuman keras) atau perbuatan makruh (seperti bermain catur). Contoh lupa yang menjadi udzur adalah seseorang sedang membaca buku yang bermanfaat atau sedang sibuk dengan pekerjaan yang mubah (diperbolehkan secara syariat).

  1. Menjamak Shalat karena Uzur

Meninggalkan shalat di suatu waktu dan mengakhirkannya di waktu shalat setelahnya diperbolehkan dalam alasan menjamak, seperti karena rukhshah tertentu, misalnya sakit (berdasarkan pendapat pilihan Imam An-Nawawi) atau safar. Dalam kondisi ini, menjamak shalat bukan berarti meninggalkannya, namun menyengaja memindahkan waktu pelaksanaannya dengan alasan yang dibenarkan.

  1. Paksaan

Orang yang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang menafikan shalat (sesuatu yang membatalkan shalat), maka ia tidak berdosa jika tidak bisa melaksanakannya pada waktunya. Namun, jika masih memungkinkan untuk melaksanakan shalat dengan isyarat (seperti menggunakan kepala atau mata), maka ia tetap wajib melaksanakannya tepat waktu dalam rangka menghormati waktu shalat. Setelah itu, ia tetap diperintahkan untuk mengulangi shalat tersebut.

Sumber:
Fiqh as-Sunnah ‘ala al-Mazhab asy-Syafi’i, hal. 204–207.
Al-Bayān wa at-Taʿrīf bi Maʿānī wa Masāʾil wa Aḥkām al-Mukhtaṣar al-Laṭīf, hal. 167

Disadur oleh:
Adid Adep Dwiatmoko
Santri Mahad Darussalam Asy Syafii Angkatan 4
Murajaáh: Ustadz Abu Husain Agus Waluyo hafizhahullah.

—–

Jangan sampai terlewat info majelis ilmu, kelas dan faedah-faedah dari Mahad Darussalam Asy Syafi’i Yogyakarta, yuk segera follow dan pantau semua channel kami di bawah ini!

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

The post Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2025/11/hukum-orang-yang-meninggalkan-shalat/feed/ 0
Hukum tidur ketika telah masuk waktu sholat https://darussalam.or.id/2025/10/hukum-tidur-ketika-telah-masuk-waktu-sholat/ https://darussalam.or.id/2025/10/hukum-tidur-ketika-telah-masuk-waktu-sholat/#respond Thu, 02 Oct 2025 15:08:49 +0000 https://darussalam.or.id/?p=2220 Dimakruhkan bagi seseorang untuk tidur setelah masuk waktu sholat sedangkan dia belum mengerjakan sholat tersebut. Hukum makruh ini berlaku apabila

The post Hukum tidur ketika telah masuk waktu sholat appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Dimakruhkan bagi seseorang untuk tidur setelah masuk waktu sholat sedangkan dia belum mengerjakan sholat tersebut. Hukum makruh ini berlaku apabila dia mempunyai persangkaan (dzon) bisa terbangun sebelum waktu sholat menjadi sempit (tersisa waktu yang tidak mencukupi untuk melakukan semua rakaat sholat dalam waktunya).

Persangkaan (dzon) tersebut dapat dilihat dengan cara:

  • Dia punya kebiasaan bisa bangun sebelum waktu sholat menjadi sempit
  • Mempunyai dzon akan dibangunkan oleh orang lain (misal sebelum tidur dia berpesan kepada temannya untuk dibangunkan)
  • Atau dengan cara yang lainnya, misal mengatur alarm

Jika syarat tersebut (persangkaan bisa bangun sebelum waktu sholat menjadi sempit) tidak terpenuhi, maka menjadi haram (tidur setelah masuknya waktu sholat dan belum mengerjakannya) jika memang dia masih bisa mengalahkan/menahan rasa kantuk. Jika dia terkalahkan oleh tidur (tidak bisa menahan kantuk dan sudah diluar batas kemampuannya, dengan ciri kesadarannya sudah menghilang), maka tidak haram dan juga tidak makruh, dengan syarat dia punya tekad untuk mengerjakannya.

Kesimpulan

Hukum tidur setelah masuk waktu sholat terbagi menjadi :

  1. Makruh : Yaitu jika belum mengerjakan sholat dan punya persangkaan (dzon) untuk bisa bangun sebelum waktu sholat menjadi sempit (tersisa waktu yang tidak mencukupi untuk melakukan semua rakaat shalat di dalam waktunya)
  2. Haram : Yaitu jika belum mengerjakan sholat dan tidak punya persangkaan (dzon) untuk bisa bangun sebelum waktu sholat menjadi sempit, serta dia masih bisa mengalahkan rasa kantuk (masih bisa menjaga kesadarannya)
  3. Tidak haram & tidak makruh : Belum mengerjakan sholat, dan dia dalam keadaan terkalahkan oleh tidur, dimana kesadaran nya sudah mulai menghilang, dengan syarat dia punya tekad untuk mengerjakannya

✅ Hukum Membangunkan orang yang tidur untuk mengerjakan sholat :

  • Wajib : Wajib membangunkan orang yang tidur jika diketahui bahwa orang tersebut tidur dalam keadaan muta’addi, misal diyakini bahwa orang yang tidur tersebut tidak akan bisa bangun untuk mengerjakan sholat pada waktunya
  • Sunnah : Disunnahkan untuk membangunkan  orang yang tidur untuk melaksanakan sholat, jika memang diketahui orang tersebut tidur dalam keadaan tidak muta’addi.

(Fathul Mu’in, hal 80)

#Faedah Dars 16 Fathul Mu’in Ma’had Darussalam

Ditulis oleh : Muhammad Tsani (Santri Ma’had Darussalam asy-Syafi’i angkatan 5)
Dimurojaah oleh Ustadz Agus Waluyo Abu Husain (pengajar Ma’had Darussalam as-syafi’i)

—–

Silakan disebarkan dan follow media kami untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

The post Hukum tidur ketika telah masuk waktu sholat appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2025/10/hukum-tidur-ketika-telah-masuk-waktu-sholat/feed/ 0
Sudah Berobat Ke Dokter Tidak Kunjung Sembuh, Biaya Berobat Bisakah Diminta Kembali? https://darussalam.or.id/2025/06/sudah-berobat-ke-dokter-tidak-kunjung-sembuh-biaya-berobat-bisakah-diminta-kembali/ https://darussalam.or.id/2025/06/sudah-berobat-ke-dokter-tidak-kunjung-sembuh-biaya-berobat-bisakah-diminta-kembali/#respond Mon, 16 Jun 2025 01:00:58 +0000 https://darussalam.or.id/?p=2155 Pembahasan mengenai hal ini ada rinciannya pada turats alias kitab klasik alias kitab kuning. Dalam madzhab Imam Asy Syafi’i pembahasan

The post Sudah Berobat Ke Dokter Tidak Kunjung Sembuh, Biaya Berobat Bisakah Diminta Kembali? appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Pembahasan mengenai hal ini ada rinciannya pada turats alias kitab klasik alias kitab kuning.

Dalam madzhab Imam Asy Syafi’i pembahasan ini dapat kita temukan dalam bab Ijarah, contohnya di dalam kitab Fathul Muin beserta Hasyiyah Ianah Ath Thalibin pada juz 3 halaman 144 – 145 dijelaskan sebagai berikut :

إن الطبيب الماهر، أي بأن كان خطوه نادرا، لو شرطت له أجرة، وأعطي ثمن الادوية أي زيادة على الأجرة فعالجه بها أي فعالج الطبيب المريض بالأدوية التي أخذ ثمنها، فلم يبرأ أي المريض بمعالجة الطبيب, استحق المسمى أي الأجرة التي سميت في العقد، إن صحت الاجارة كأن قدرت بزمان معلوم

Sesungguhnya dokter yang mahir, ahli, berkompeten dimana dokter tersebut jarang salah, apabila disyaratkan ada biaya, juga ditambah biaya pembayaran obat, kemudian dokter ini melakukan pengobatan dengan obat yang telah dibayar pasien, malah pasien tidak sembuh padahal dokter sudah mengobatinya, maka dokter tetap berhak mendapatkan biaya yang telah disepakati ketika terjadi akad dengan catatan jika akad ijarahnya sah misalnya ditetapkan dengan waktu tertentu.

وإلا فأجرة المثل أي وإن لم تصح استحق أجرة المثل

Adapun jika akad ijarahnya tidak sah maka dokter mendapatkan ujrah mitsl yakni upah standar.

وليس للعليل الرجوع عليه أي على الطبيب بشئ، لان المستأجر عليه المعالجة لا الشفاء، بل إن شرط أي الشفاء في عقد الإجارة، بطلت الاجارة، لانه أي الشفاء بيد الله تعالى لا غير

Sedangkan orang yang sakit tidak berhak menarik sedikitpun bayaran yang telah diserahkan ke dokter, karena objek yang dibayarkan pasien adalah jasa pengobatan bukan kesembuhan, bahkan kalau dalam akad ijarah ini disyaratkan pasien harus sembuh maka akad ijarah menjadi batal, karena kesembuhan dari penyakit hanyalah di tangan Allah semata bukan yang lain.

أما غير الماهر، فلا يستحق أجرة ويرجع عليه بثمن الادوية، لتقصيره بمباشرته بما ليس له بأهل

Adapun dokter yang tidak mahir, tidak ahli, tidak kompeten maka tidak berhak mendapatkan biaya dari pasien, dan pasien bisa menarik kembali biaya obat yang telah dibayarkan dikarenakan kecerobohan dokter tersebut dimana dia melakukan pengobatan padahal dia sama sekali tidak berkompeten!

Demikian pembahasan ringkas terkait hal ini. Semoga bermanfaat.

والله تعالى أعلم بالصواب

Disadur: Yurifa Iqbal santri Ma’had Darussalam Asy Syafi’i angkatan 3

Murajaah : Ustaz Agus Waluyo Abu Husain

——
📝
Silakan follow media kami berikut untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

The post Sudah Berobat Ke Dokter Tidak Kunjung Sembuh, Biaya Berobat Bisakah Diminta Kembali? appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2025/06/sudah-berobat-ke-dokter-tidak-kunjung-sembuh-biaya-berobat-bisakah-diminta-kembali/feed/ 0
Tanggung Jawab Orang Tua dalam Islam: Mengajarkan Perintah dan Larangan kepada Anak Sebelum Baligh https://darussalam.or.id/2025/06/tanggung-jawab-orang-tua-dalam-islam-mengajarkan-perintah-dan-larangan-kepada-anak-sebelum-baligh/ https://darussalam.or.id/2025/06/tanggung-jawab-orang-tua-dalam-islam-mengajarkan-perintah-dan-larangan-kepada-anak-sebelum-baligh/#respond Fri, 13 Jun 2025 01:00:59 +0000 https://darussalam.or.id/?p=2152 Tanggung Jawab Orang Tua dalam Islam: Mengajarkan Perintah dan Larangan kepada Anak Sebelum Baligh Islam memberikan perhatian besar terhadap pendidikan

The post Tanggung Jawab Orang Tua dalam Islam: Mengajarkan Perintah dan Larangan kepada Anak Sebelum Baligh appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Tanggung Jawab Orang Tua dalam Islam: Mengajarkan Perintah dan Larangan kepada Anak Sebelum Baligh

Islam memberikan perhatian besar terhadap pendidikan anak-anak, terutama dalam hal ibadah dan kewajiban agama. Para ulama menjelaskan bahwa sebelum anak mencapai usia baligh, para orang tua wajib memberikan pendidikan agama, agar anak siap menunaikan beban taklif saat sudah menjadi baligh. Tugas ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah kewajiban, sebagaimana keterangan menurut fuqaha Syafi’iyyah.

Ibnu Hajar Al Haitami berkata,

وَعَلَىٰ مَن ذُكِرَ أَيْضًا نَهْيُهُ عَنِ ٱلْمُحَرَّمَاتِ حَتَّى ٱلصَّغَائِرِ، وَتَعْلِيمُهُ ٱلْوَاجِبَاتِ وَنَحْوَهَا، وَأَمْرُهُ بِهَا كَالسِّوَاكِ، وَحُضُورِ ٱلْجَمَاعَاتِ، وَسَائِرِ ٱلْوَظَائِفِ ٱلدِّينِيَّةِ

“Termasuk kewajiban atas siapa pun yang telah disebutkan (yakni orang tua atau wali), adalah melarang anak-anak dari perkara yang haram -bahkan dosa-dosa kecil- dan mengajarkan kewajiban-kewajiban dan yang semisalnya, serta memerintahkan mereka untuk melaksanakannya; seperti bersiwak, menghadiri shalat berjamaah, dan seluruh tugas-tugas agama lainnya.”

(al-Minhāj al-Qawīm Syarḥ al-Muqaddimah al-Ḥaḍramiyyah, hal 69, Maktabah Syamilah Web)

An Nawawi berkata,

ودليل وجوب تعليم الولد الصغير ، والمملوك قول الله عز وجل : {يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا} قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه ومجاهد وقتادة : (معناه علموهم ما ينجون به من النار) ، وهذا ظاهر ، وثبت في الصحيحين عن ابن عمر رضي الله عنهما عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ” قال : { كلكم راع ، ومسئول عن رعيته }

“Dalil wajibnya mengajarkan anak kecil dan hamba sahaya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.’ Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Mujahid, dan Qatadah berkata: ‘Maknanya adalah: ajarilah mereka hal-hal yang dapat menyelamatkan mereka dari neraka.’ Dan ini jelas. Juga telah valid dalam Shahihain dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda: ‘Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.’ (al-Majmūʿ Syarḥ al-Muhadzdzab, juz 1, hlm. 51, Library islamweb.net)

Apa yang wajib untuk diajarkan?

Perkara-perkara yang wajib untuk diajarkan kepada anak-anak yang sudah tamyiz, sebelum baligh-nya, ada 2 kategori:

  • Seluruh perkara-perkara penting yang menjadi kewajiban bagi setiap individu, seperti tentang bersuci, shalat, puasa, dan yang lainnya.
  • Seluruh perkara-perkara yang haram dilakukan, seperti haramnya zina, liwath dan homoseksual, mencuri, minum khamr dan segala hal yang memabukkan, berbohong -baik hal kecil ataupun hal besar-, ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dan keharaman lainnya.

Selain itu, wali (orang tua atau wali) wajib mengajarkan kepada anak bahwa nanti saat mereka sudah menjadi baligh, mereka sudah terbebani dengan taklif syariat. Oleh karena itu, anak-anak wajib dikenalkan tanda-tanda baligh, yang menurut fuqaha Syafi’iyyah ada 3 hal:

  • Sempurnanya usia 15 tahun qamariyyah tepat.

Dasarnya adalah hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما, beliau berkata:

عَرَضَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ فِي الْقِتَالِ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعَرَضَنِي يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَنِي وَفِي رِوَايَةٍ: فَلَمْ يُجِزْنِي، وَلَمْ يَرَنِي بَلَغْتُ

“Rasulullah ﷺ menampilkanku (untuk dilihat layak tidaknya ikut) pada perang Uhud saat aku berusia empat belas tahun, namun beliau tidak mengizinkanku. Kemudian beliau menampilkanku pada perang Khandaq saat aku berusia lima belas tahun, maka beliau mengizinkanku.” (HR. Al Bukhari 4097 dan Muslim 1868).

Dalam riwayat lain disebutkan: “Beliau tidak mengizinkanku, dan beliau tidak melihatku telah baligh.”

(HR. Ibnu Hibban 4727, 4728 dalam kitab Shahih-nya, Al Baihaqi 3/83 dalam As Sunan Al Kubra)

  • Keluarnya mani (Iḥtilām)

Tanda kedua adalah mengalami ihtilām (keluarnya mani), baik pada laki-laki maupun perempuan, yang terjadi setelah anak berusia sekitar usia sembilan tahun qamariyah. Dasarnya adalah hadits Nabi ﷺ:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Diangkat pena (pencatatan amal) dari tiga golongan: dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia menjadi baligh, dan dari orang gila hingga ia sadar.”

(HR. Abu Dawud 4403, At Tirmidzi 1427, Ibnu Hibban 1496, Al Hakim 2397 dan beliau men-shahih-kannya sesuai dengan syarat Syaikhan).

  • Datangnya haid pada Perempuan

Tanda ketiga ini khusus untuk Perempuan, yakni dengan datangnya haid ketika anak telah berusia sekitar sembilan tahun Qamariyyah. Jika darah keluar sebelum seorang perempuan sempurna usia sembilan tahun dengan sisa waktu yang tidak cukup untuk masa haid dan suci yang paling sedikit (16 hari), maka darah itu adalah haid. Adapun jika keluarnya sebelum itu, maka darah tersebut dihukumi darah istihadhah. Hitungan 16 hari ini adalah periode minimal satu siklus haidh dan suci. Sebagai contoh:

  • Seorang wanita keluar darah saat usianya 9 tahun kurang 25 hari. Maka darah yang keluar ini dihukumi darah istihadhah.
  • Seorang wanita keluar darah saat usianya 9 tahun kurang 15 hari, maka darah yang keluar ini dihukumi darah haidh.

Pihak yang Bertanggung Jawab atas Biaya Pengajaran Anak

Upah bagi guru yang mengajari anak kecil diambil dari harta anak tersebut jika ia memiliki harta. Dalam hal ini, walinya wajib memberikan upah dari harta si anak kepada guru yang mengajarnya.

Namun, jika anak tersebut tidak memiliki harta, maka kewajiban biaya pendidikan ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban menafkahinya, secara berurutan sebagai berikut: (1) Ayah dan seterusnya ke atas (kakek dst), kemudian (2) Ibu dan seterusnya ke atas (nenek dst), kemudian (3) Baitul Māl (kas negara), kemudian (4) Orang-orang kaya dari kalangan kaum Muslimin, bila Baitul Māl juga tidak ada.

Al-Bujairimī berkata,

وَمُؤْنَةُ تَعْلِيمِهِمْ لِفَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ: فِي مَالِهِمْ، ثُمَّ آبَائِهِمْ، ثُمَّ أُمَّهَاتِهِمْ، ثُمَّ بَيْتِ الْمَالِ، ثُمَّ أَغْنِيَاءِ الْمُسْلِمِينَ

“Dan biaya pengajaran mereka, baik untuk hal yang wajib maupun yang sunnah, diambil dari harta mereka, kemudian dari ayah-ayah mereka, lalu dari ibu-ibu mereka, kemudian dari Baitul mal (kas negara), dan selanjutnya dari orang-orang kaya kaum muslimin.”

(Hāsyiyah al-Bujairimī ‘ala al-Khāṭīb hal 598, web book Thahabi.org)

📚 Sumber Rujukan: Al-Bayān wa at-Taʿrīf bi Maʿānī wa Masāʾil wa Aḥkām al-Mukhtaṣar al-Laṭīf, hlm. 186–191

Disadur oleh: Adid Adep Dwiatmoko Santri Angkatan 4

Mahad Darussalam Asy Syafii

——
📝
Silakan follow media kami berikut untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

The post Tanggung Jawab Orang Tua dalam Islam: Mengajarkan Perintah dan Larangan kepada Anak Sebelum Baligh appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2025/06/tanggung-jawab-orang-tua-dalam-islam-mengajarkan-perintah-dan-larangan-kepada-anak-sebelum-baligh/feed/ 0
Penjelasan tentang Syarat-syarat Sah Shalat https://darussalam.or.id/2025/06/penjelasan-tentang-syarat-syarat-sah-shalat/ https://darussalam.or.id/2025/06/penjelasan-tentang-syarat-syarat-sah-shalat/#respond Mon, 09 Jun 2025 01:00:43 +0000 https://darussalam.or.id/?p=2145 Syarat dari suatu perkara adalah segala sesuatu yang keberadaan perkara tersebut bergantung padanya, namun ia bukan bagian dari perkara itu

The post Penjelasan tentang Syarat-syarat Sah Shalat appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Syarat dari suatu perkara adalah segala sesuatu yang keberadaan perkara tersebut bergantung padanya, namun ia bukan bagian dari perkara itu sendiri. Contohnya: Tanaman di permukaan bumi. Tidak mungkin tanaman ada di atas permukaan bumi tanpa adanya hujan, padahal hujan itu bukan bagian dari tanaman. Maka hujan adalah syarat bagi adanya tanaman. (Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i, juz 1, hal. 121)

Dalam konteks ini, syarat sah sholat adalah segala hal yang harus dipenuhi oleh seorang sebelum atau selama melaksanakan sholat, agar sholatnya sah menurut syariat Islam. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka sholat tersebut tidak dianggap sah. Berikut adalah sebelas (11) syarat-syarat sahnya shalat menurut penulis Al Bayan wat Ta’rif:

1. Mengetahui Masuknya Waktu Shalat

Pengetahuan tentang masuknya waktu shalat bisa didapat melalui dua cara:

  • Secara yakin, misalnya seseorang melihat matahari terbenam, maka dia yakin waktu maghrib telah masuk.
  • Secara prasangka kuat (dzan) yang didasarkan pada ijtihad (usaha maksimal untuk mengetahui waktu shalat)

Jika seseorang memulai shalat tanpa mengetahui apakah waktu telah masuk, baik secara yakin maupun ijtihad, maka shalatnya tidak sah, walaupun ternyata ia berada dalam waktu shalat.

Bila seseorang tidak mampu mengetahui waktu shalat secara mandiri, maka ia wajib menerima informasi dari orang yang terpercaya, seperti adzan dari muadzin yang diketahui ketepatannya. Jika tidak menemukannya, maka wajib berijtihad, misalnya dengan memperkirakan dari lamanya membaca Al-Qur’an atau aktivitas tertentu.

2. Menghadap Kiblat

Maksudnya adalah menghadap ke arah Ka’bah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144).

An-Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Masjidil Haram” di ayat ini adalah Ka’bah itu sendiri. Beliau berkata:

وَالْمُرَادُ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ هُنَا: الْكَعْبَةُ نَفْسُهَا. وَشَطْرُ الشَّيْءِ يُطْلَقُ عَلَى جِهَتِهِ وَنَحْوِهِ، وَيُطْلَقُ عَلَى نِصْفِهِ. وَالْمُرَادُ هُنَا: الْأَوَّلُ

“Yang dimaksud dengan al-Masjid al-Haram dalam konteks ayat ini adalah Ka’bah itu sendiri. Kata syathr (شطر) dapat digunakan untuk menunjukkan arah suatu benda atau yang semisalnya, dan juga dapat digunakan untuk menunjukkan separuh dari sesuatu. Namun yang dimaksud dalam konteks ayat ini adalah makna pertama (yaitu arah)…”

(Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, juz 3, hal. 193, Library islamweb.net)

Ketentuan menghadap kiblat:

  • Bagi yang bisa melihat Ka’bah atau menyentuhnya secara langsung, maka wajib menghadap ke bangunannya secara pasti (yakin).
  • Bagi yang tidak bisa melihat Ka’bah, cukup menghadap berdasarkan perkiraan (dzan).

Pengecualian:

Ada dua keadaan yang dikecualikan dalam kewajiban menghadap kiblat ini:

Pengecualian 1: Shalat sunnah dalam perjalanan.

Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ، نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ

” Rasulullah ﷺ dahulu mengerjakan shalat (sunnah) di atas tunggangannya ke arah mana pun tunggangannya menghadap. Namun jika beliau hendak melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraannya, menghadap kiblat.” (HR. Al Bukhari 400).

Tata cara shalat sunnah di saat perjalanan dalam kaitannya dengan menghadap kiblat adalah sebagai berikut:

  • Jika naik kendaraan (rākiban) dan mudah menghadap kiblat serta menyempurnakan ruku’ dan sujud, maka wajib baginya untuk menghadap kiblat, menyempurnakan ruku’ dan sujud, serta melakukan seluruh rukun sesuai kemampuan.
  • Jika naik kendaraan (rākiban) dan sulit untuk menghadap kiblat, cukup menghadap kiblat saat takbiratul ihram saja jika memungkinkan. Sedangkan untuk keseluruhan shalatnya, ia menghadap ke arah tujuan perjalanannya. Ia berisyarat untuk ruku’ dan sujud sesuai kemampuannya, serta wajib menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya, jika memungkinkan.
  • Jika berjalan kaki (māsyiyan), wajib menghadap kiblat saat (1) takbiratul ihram, (2) ruku’, (3) sujud, dan (4) duduk antara dua sujud. Sisanya boleh tidak menghadap.

Perlu diingat, perjalanan yang dibolehkan shalat sunnah dengan tidak menghadap kiblat adalah perjalanan yang bukan dalam rangka tujuan maksiat.

Pengecualian 2: Dalam shalat dalam keadaan sangat takut (صَلَاةُ شِدَّةِ الْخَوْفِ).

Allah Ta’ala berfirman;

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

” Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239).

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma jika ditanya tentang shalat dalam keadaan takut, ia menjawab:

فَإِنْ كَانَ خَوْفًا أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالًا قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ، أَوْ رُكْبَانًا عَلَى دَوَابِّهِمْ مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ

“…jika (keadaan) takut itu lebih besar dari itu, maka mereka shalat sambil berjalan kaki dalam keadaan berdiri di atas kaki mereka, atau di atas tunggangan mereka, menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat.” Imam Malik berkata, “Nafi’ mengatakan:

لَا أَرَى عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ ذَكَرَ ذَٰلِكَ إِلَّا عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ

‘Aku tidak melihat Abdullah bin Umar menyebutkan hal itu kecuali dari Rasulullah ﷺ’. (HR. Al Bukhari 4535).

Maka orang yang shalat dalam kondisi sangat takut —seperti ketika menghadapi musuh atau dalam situasi bahaya yang semisalnya— diberi keringanan untuk tidak menghadap kiblat. Ia juga diperbolehkan melakukan banyak gerakan berturut-turut yang diperlukan, seperti memukul, menusuk, atau melompat secara terus-menerus demi menjaga keselamatan.

3. Menutup Aurat

Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ

“Allah tidak menerima shalat seorang wanita yang sudah haid (baligh) kecuali dengan mengenakan kerudung.”

(HR. Abu Dawud 641, at-Tirmidzi 377 dan beliau berkata: hadits hasan, Ibnu Majah 655, Al Hakimi 956 dan beliau menshahihkannya).

Syarat penutup aurat:

  1. Harus menutup seluruh aurat yang wajib ditutup secara dipakai atau yang semisalnya.
  2. Harus memiliki fisik (جرم) sehingga tidak menampakkan warna kulit ketika dilihat pada jarak majelis berbincang (yakni sekitar 1,5 m) untuk mata normal.

Jika seseorang tidak memiliki pakaian yang menutup aurat, maka dia shalat dalam keadaan telanjang dan tidak wajib mengulangi shalatnya.

4. Suci dari Hadats Besar dan Hadats Kecil

Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ

“Shalat tidak diterima tanpa bersuci.” (HR. Muslim 224)

Bersuci dari hadats dapat dilakukan dengan air atau, jika tidak memungkinkan, dengan tanah. Jika menggunakan air, hadats kecil dihilangkan dengan wudhu, sedangkan hadats besar dihilangkan dengan mandi wajib. Namun, jika seseorang tidak menemukan air atau tidak mampu menggunakannya karena alasan syar’i, maka ia boleh bertayamum menggunakan tanah yang suci. Jika tidak tersedia air maupun tanah untuk bersuci, maka ia tetap wajib melaksanakan shalat sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu shalat, dan ia harus mengulanginya setelah memungkinkan bersuci.

5. Suci dari Najis

Yakni suci dari najis yang tidak dimaafkan, baik pada pakaian, badan, maupun tempat yang digunakan untuk shalat. Yang menegaskan hal ini adalah sabda Rasulullah ﷺ kepada Fathimah binti Abu Hubaisy radhiyallahu ‘anha:

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ، وَصَلِّي

“Jika datang haid, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika haid sudah berhenti, maka cucilah darah darimu, lalu shalatlah.” (HR. Al Bukhari 306, Muslim 333)

Barang-barang yang dibawa oleh seseorang saat shalat memiliki hukum yang sama seperti pakaian yang dikenakannya, sehingga wajib bebas dari najis. Hal yang sama berlaku untuk anggota badan, yang harus disucikan dari najis, termasuk bagian dalam mata, rongga mulut, dan hidung. Adapun yang dimaksud dengan tempat shalat adalah bagian permukaan yang bersentuhan langsung dengan tubuh orang yang shalat atau dengan benda yang dipakainya, seperti sajadah atau pakaian.

6. Mengetahui Rukun (Fardhu) dan Sunnah Shalat

Yang dimaksud di sini adalah seseorang yang tidak meyakini bahwa suatu rukun shalat adalah rukun, melainkan menganggapnya hanya sebagai sunnah. Misalnya, ia mengira bahwa ruku’ hanyalah sunnah, padahal ruku’ adalah salah satu rukun/fardhu dalam shalat. Lalu bagaimana jika seseorang meyakini bahwa seluruh gerakan dalam shalat adalah fardhu, atau meyakini bahwa sebagian fardhu dan sebagian lainnya sunnah—tanpa menyebutkan secara spesifik bahwa suatu rukun tertentu adalah sunnah? Dalam hal ini, jika ia adalah orang awam, maka shalatnya tetap sah.

Namun jika ia adalah penuntut ilmu yang telah cukup waktu belajar sehingga seharusnya mampu membedakan antara rukun dan sunnah dalam shalat, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Ibnu Hajar, shalatnya tetap sah. Sedangkan menurut Ar-Ramli, shalatnya tidak sah.

  1. Mengetahui bahwa Shalat itu Wajib. Shalat tidak sah jika seseorang ragu bahwa shalat itu wajib, atau meyakini bahwa shalat hanya sunnah.
  2. Menjauhi Hal-Hal yang Membatalkan Shalat. Termasuk di dalamnya adalah makan, minum, atau berbicara di tengah-tengah shalat.
  3. Beragama Islam.
  4. Sudah Tamyiz.
  5. Mengetahui Tata Cara Shalat. Orang yang tidak tahu bagaimana cara melaksanakan shalat sama sekali, maka shalatnya tidak sah hingga ia belajar.

📚 Sumber Rujukan: Al-Bayān wa at-Taʿrīf bi Maʿānī wa Masāʾil wa Aḥkām al-Mukhtaṣar al-Laṭīf, hlm. 192–197

Disadur oleh: Adid Adep Dwiatmoko
Santri Angkatan 4 Mahad Darussalam Asy Syafii

——
📝
Silakan follow media kami berikut untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

The post Penjelasan tentang Syarat-syarat Sah Shalat appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2025/06/penjelasan-tentang-syarat-syarat-sah-shalat/feed/ 0
Memahami Kembali Batasan Aurat Kita https://darussalam.or.id/2025/06/memahami-kembali-batasan-aurat-kita/ https://darussalam.or.id/2025/06/memahami-kembali-batasan-aurat-kita/#comments Mon, 02 Jun 2025 01:00:07 +0000 https://darussalam.or.id/?p=2128 Aurat merupakan bagian penting yang perlu menjadi perhatian bagi setiap muslim. Bagi seorang mukallaf, hendaknya dia mengetahui bagian-bagian mana saja

The post Memahami Kembali Batasan Aurat Kita appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Aurat merupakan bagian penting yang perlu menjadi perhatian bagi setiap muslim. Bagi seorang mukallaf, hendaknya dia mengetahui bagian-bagian mana saja dari tubuhnya yang harus dia tutupi, dan kapan dia dibolehkan atau dilarang untuk menyingkap aurat tersebut. Sebab aurat merupakan satu dari delapan syarat sah-nya sholat. Sebagaimana kami kutip dari Matn Safinatun-Najah berikut:

  1. Suci dari 2 hadats;
  2. Kesucian tempat sholat, pakaian, maupun badan orang yang sholat;
  3. Menutup aurat;
  4. Menghadap kiblat;
  5. Masuk pada waktu sholat;
  6. Ilmu (mengetahui dengan pasti) rukun-rukun sholat;
  7. Tidak menganggap rukun sholat sebagai sunnah;
  8. Menghindari pembatal Sholat.

Pengertian aurat dalam syariat mencakup dua definisi. Yaitu:

  1. Sesuatu yang tak boleh disingkap;
  2. Sesuatu yang tak boleh dipandang.

Penggolongan aurat berbeda berdasarkan subjek (orang yang menutup aurat) dan situasi yang mengharuskannya menutup aurat. Sehingga berbeda pula aurat laki-laki dan perempuan, yang merdeka dengan budak, serta ketika di hadapan lelaki atau perempuan.

Pembagian tersebut dapat diringkas menjadi empat, sebagai berikut:

1. Aurat Laki-laki secara Mutlak, dan Budak Perempuan saat Sholat

  • Aurat lelaki secara mutlak ini merupakan bagian yang wajib ditutup oleh lelaki (baik merdeka maupun budak) ketika sedang sholat maupun diluar sholat, serta di hadapan perempuan mahram maupun non-mahram. Bagian yang wajib ditutup adalah antara pusar dan kedua lutut.
  • Aurat budak perempuan wajib ditutup ketika sedang sholat dalam hal ini disamakan dengan lelaki, yakni antara pusar dan kedua lutut. Dengan catatan tidak ada lelaki asing yang melihatnya. Jika ada laki-laki asing yang melihatnya, sholatnya tetap sah, tetapi ia berdosa disebabkan tak menutup auratnya.

2. Aurat Perempuan Merdeka ketika Sholat

Aurat perempuan merdeka yang wajib ditutup ketika sholat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan.

Bagian wajah yang dimaksud di sini adalah bagian yang terlihat saat dipandang dari depan. Sehingga, bagian lain, seperti bagian bawah dagu, termasuk aurat.
Adapun telapak tangan yang dimaksud adalah bagian luar dan dalam telapak tangan hingga batas pergelangan tangan.

Kriteria di atas berlaku apabila seorang perempuan merdeka sholat sendiri, adapun apabila ada lelaki asing non-mahrom, maka wajib menutup seluruh tubuhnya tanpa terkecuali.

3. Aurat Perempuan Merdeka dan Budak Perempuan saat di Hadapan Laki-laki Asing

Aurat semua perempuan dalam kondisi ini disamakan, baik merdeka maupun budak, baik ketika sholat maupun tidak, selama ada lelaki asing (non-mahrom) maka bagian yang wajib ditutup adalah seluruh tubuhnya tanpa terkecuali.

4. Aurat Perempuan Merdeka dan Budak Perempuan di Hadapan Perempuan Lain, dan Lelaki Mahramnya

Aurat perempuan merdeka di hadapan mahram atau sesama perempuan Muslim merdeka adalah antara pusar dan lutut. Adapun bila di hadapan perempuan kafir adalah seluruh badan kecuali yang biasa terlihat ketika beraktifitas (kepala, leher, dua tangan dan kaki).

Demikian pula budak perempuan di hadapan tuannya dan sesama budak perempuan adalah antara pusar dan kedua lutut.

Untuk mempermudah pemahaman, maka dapat mengacu pada tabel berikut

Referensi:
– Nailur-Roja bi-Syarhi Safinah An-Najaah
– Imta’ al-Asma’ fii Syarhi Matni Abi Syujaa’

Oleh: Thoriq Marzuki – Santri Ma’had Darussalam Angkatan 5

——
📝
Silakan follow media kami berikut untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

 

The post Memahami Kembali Batasan Aurat Kita appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2025/06/memahami-kembali-batasan-aurat-kita/feed/ 1
Rincian Hukum Ketika Penghalang Shalat Muncul atau Hilang dalam Rentang Waktu Shalat: Panduan tentang Kewajiban dan Qadha https://darussalam.or.id/2025/05/ketika-penghalang-muncul-hilang-dalam-rentang-waktu-shalat-kewajiban-dan-qadha/ https://darussalam.or.id/2025/05/ketika-penghalang-muncul-hilang-dalam-rentang-waktu-shalat-kewajiban-dan-qadha/#respond Fri, 30 May 2025 01:00:07 +0000 https://darussalam.or.id/?p=2106 Shalat merupakan salah satu kewajiban agung dalam Islam. Kewajiban ini disyariatkan untuk seluruh hamba yang sudah terpenuhi syarat-syaratnya atau tidak

The post Rincian Hukum Ketika Penghalang Shalat Muncul atau Hilang dalam Rentang Waktu Shalat: Panduan tentang Kewajiban dan Qadha appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Shalat merupakan salah satu kewajiban agung dalam Islam. Kewajiban ini disyariatkan untuk seluruh hamba yang sudah terpenuhi syarat-syaratnya atau tidak memiliki penghalang-penghalang. Dalam fikih mazhab Syafi‘i, terdapat pembahasan mendetail tentang hukum shalat ketika seseorang memiliki penghalang (المانع), yang menghalangi kewajiban shalat, seperti haid, nifas, keadaan belum baligh, atau kehilangan akal. Artikel ini merangkum dua kondisi, yakni saat munculnya penghalang dan saat hilangnya penghalang tersebut dalam rentang waktu shalat, serta menjelaskan kapan shalat wajib ditunaikan atau diqadha menurut pendapat ulama Syafi‘iyah.

1. Hilangnya Penghalang Sebelum Waktu Shalat Berakhir

Apabila seseorang mengalami hilangnya penghalang yang sebelumnya menggugurkan kewajiban shalat, seperti:

  • Anak kecil yang menjadi baligh
  • Wanita yang menjadi suci dari haid atau nifas
  • Orang yang sadar dari hilang akal (gila, pingsan, mabuk)

sebelum waktu shalat berakhir, maka ia wajib menunaikan shalat tersebut, dengan syarat waktu yang tersisa masih cukup untuk takbiratul ihram (yakni takbir pertama dalam shalat).

Contoh:

Seorang wanita suci dari haid menjelang akhir waktu Subuh, meskipun hanya cukup untuk takbiratul ihram, maka ia wajib menunaikan shalat Subuh. Jika dilakukan setelah matahari terbit, maka statusnya adalah qadha.

Ketentuan tambahan: Jika Shalatnya Bisa Dijamak, Maka Wajib Qadha Shalat Sebelumnya

Apabila shalat yang wajib ditunaikan tersebut termasuk shalat yang bisa dijamak dengan shalat sebelumnya, seperti Ashar (yang bisa dijamak dengan Zhuhur) atau Isya (yang bisa dijamak dengan Maghrib), maka wajib pula menunaikan shalat sebelumnya, walaupun waktu shalat itu telah lewat saat masih ada penghalang.

Contoh:

  • Wanita yang suci dari haid di akhir waktu Ashar, maka ia wajib menunaikan shalat Ashar (karena waktunya masih tersisa), dan Zhuhur (karena keduanya bisa dijamak).
  • Orang yang sadar dari gila di akhir waktu Isya, maka ia wajib menunaikan shalat Isya (dalam waktu), dan juga Maghrib.

Syarat Tambahan bagi yang Sembuh dari Hilang Akal

Bagi orang yang sembuh dari gila, pingsan, atau mabuk, ada syarat tambahan: Ia tidak kembali mengalami hilang akal dalam rentang waktu yang cukup untuk bersuci dan melaksanakan shalat.

Jika setelah sadar, ia kembali hilang akal di rentang waktu yang tidak memungkinkan untuk bersuci dan shalat, maka ia tidak wajib menunaikan shalat tersebut, karena tidak ada waktu sadar yang cukup untuk menjalankan kewajiban.

2. Datangnya Penghalang setelah Masuk Waktu Shalat

Jika seseorang terkena penghalang setelah masuk waktu shalat, maka perlu dilihat apakah sebelum penghalang itu datang, sempat berlalu waktu yang cukup untuk menunaikan shalat fardhu secara minimal? Jika ya, maka ia wajib mengqadha shalat tersebut setelah penghalang hilang, karena sudah ada kesempatan menunaikannya sebelumnya.

Contoh:

  • Seorang wanita yang mengalami haid 10 menit setelah masuk waktu Zhuhur,  maka dia wajib mengqadha shalat Zhuhur tersebut setelah sucinya. Karena 10 menit ini mencukupi untuk shalat zhuhur minimal sah.
  • Seseorang menjadi gila setelah masuk waktu Maghrib, padahal sempat sadar sebelumnya seukuran waktu untuk shalat, maka dia wajib mengqadha setelah sembuh.
  • Wanita melahirkan dan mengalami nifas beberapa saat setelah masuk Subuh, dan sempat ada waktu cukup untuk menunaikan shalat, maka dia wajib mengqadha shalat Shubuh tersebut setelah suci.

Catatan:

Yang dijadikan ukuran adalah adanya waktu setelah masuk waktu shalat yang cukup untuk menunaikan shalat secara sah, meskipun hanya fardhu dan tanpa sunnah tambahan.

Bagi orang yang memiliki penyakit seperti inkontinensia urin (salasul baul) atau wanita istihadhah, maka ukuran waktu  setelah masuk waktu shalat adalah seukuran bersuci dan shalat minimal, karena kategori orang seperti ini baru boleh melakukan thaharah setelah masuk waktu shalat.

 

📚 Sumber Rujukan: Al-Bayān wa at-Taʿrīf bi Maʿānī wa Masāʾil wa Aḥkām al-Mukhtaṣar al-Laṭīf, hlm. 184–186

Disadur oleh:
Adid Adep Dwiatmoko, Santri Angkatan 4, Mahad Darussalam Asy Syafii

——
📝
Silakan follow media kami berikut untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

The post Rincian Hukum Ketika Penghalang Shalat Muncul atau Hilang dalam Rentang Waktu Shalat: Panduan tentang Kewajiban dan Qadha appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2025/05/ketika-penghalang-muncul-hilang-dalam-rentang-waktu-shalat-kewajiban-dan-qadha/feed/ 0
Fiqih Islam dalam Membela Diri https://darussalam.or.id/2025/05/fiqih-islam-dalam-membela-diri/ https://darussalam.or.id/2025/05/fiqih-islam-dalam-membela-diri/#respond Thu, 22 May 2025 23:00:44 +0000 https://darussalam.or.id/?p=2092 Bismillah washsholatu wassalamu ‘ala rosulillah Siapa yang menyangka bahwa dalam fiqih islam dijelaskan juga hukum-hukum dalam membela diri. Secara umum,

The post Fiqih Islam dalam Membela Diri appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Bismillah washsholatu wassalamu ‘ala rosulillah

Siapa yang menyangka bahwa dalam fiqih islam dijelaskan juga hukum-hukum dalam membela diri. Secara umum, hal ini disebutkan dalam Quran,

{.. فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ عَلَیۡكُمۡ فَٱعۡتَدُوا۟ عَلَیۡهِ بِمِثۡلِ مَا ٱعۡتَدَىٰ عَلَیۡكُمۡۚ }

“..barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu.”[Surah Al-Baqarah: 194]

Kemudian, para ulama menjelaskannya secara detail apa yang perlu dilakukan ketika diserang: apakah perlu melawan ataukah justru harus mengalah. Berikut perinciannya dalam madzhab syafii.

🔘 Kondisi yang Wajib Melawan

  • Orang kafir, muslim yang layak dihukum mati (ghoiru ma’shum ad dam, seperti orang yang tidak mau sholat), atau hewan, menyerang kita sampai mengancam nyawa kita.
    Sehingga, jika yang menyerang adalah orang muslim yang terjaga darahnya, tidak wajib. Bahkan, bagusnya mengalah
  • Seseorang menyerang orang lain yang terjaga darahnya sampai mengancam nyawanya, jika yakin kita bisa selamat.
    Sehingga jika tidak yakin, tidak wajib
  • Seseorang menyerang kehormatan kita (mohon maaf: hendak memperkosa) walaupun berdampak akhirnya harus mengorbankan nyawa kita.
  • Seseorang menyerang kehormatan orang lain (baik laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa), jika yakin kita bisa selamat.
    Sehingga, jika tidak yakin, tidak wajib.
  • Orang kafir atau muslim yang layak dihukum mati menyerang hewan (walau punya orang lain), jika yakin kita bisa selamat.
    Sehingga jika tidak yakin, tidak wajib.
  • Seseorang menyerang (untuk mengambil) harta yang ditanggung jawabkan kepada kita, seperti dititipkan atau menjadi wakil.
    Sehingga jika hartanya milik kita atau milik orang lain tapi tidak ditanggung jawabkan pada kita, tidak wajib.

🔘 Kondisi yang Haram Melawan

  • Seseorang yang terpaksa menyerang sebatas untuk mengambil harta
  • Seseorang yang kelaparan menyerang sebatas untuk mengambil makanan dan sejenisnya.

 

🔖 Masalah terkait: Apakah harus bertanggung jawab jika penyerang terluka atau terbunuh ketika membela?

Dalam membela, cara yang digunakan harus yang paling kecil dampaknya. Sebagai contoh, jika bisa dilawan cukup dengan pukulan, tidak boleh sampai membunuh. Jika malah sampai dibunuh, orang tersebut bertanggung jawab.

Untuk lebih jelasnya, gambaran urutannya sebagai berikut,

  • Bisa menghindar dengan cara kabur
  • memperingatkan
  • meminta bantuan orang
  • memukul dengan tangan
  • memukul dengan alat
  • melawan sampai melukai parah
  • melawan sampai memotong
  • melawan sampai membunuh

Akan tetapi, jika kondisinya tidak memungkinkan dirinya untuk memperkirakan cara melawan teringan, kemudian memilih cara apapun yang dapat dia lakukan, dirinya tidak perlu bertanggung jawab.

⚖ Kasus di Pengadilan:

Jika pelaku penyerangan menyalahkan korban karena berlebihan dalam melawan, hakim tetap mengambil perkataan si korban asalkan korban mau bersumpah.

Sekian, semoga Allah menjaga diri penulis dan pembaca dari berbagai musibah.

Wallahu a’lam.

 

Penulis: Rifki Nur ( santri Ma’had Darussalam angkatan 4 )

Sumber: Imta’ul Asma:347-348. PDF, Yaqutun Nafis: 289. Darul Minhaj

 

——
📝
Silakan follow media kami berikut untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

The post Fiqih Islam dalam Membela Diri appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2025/05/fiqih-islam-dalam-membela-diri/feed/ 0
Kewajiban Memerintahkan Anak untuk Shalat https://darussalam.or.id/2025/05/kewajiban-memerintahkan-anak-untuk-shalat/ https://darussalam.or.id/2025/05/kewajiban-memerintahkan-anak-untuk-shalat/#respond Fri, 16 May 2025 12:48:51 +0000 https://darussalam.or.id/?p=2074 Rasulullah ﷺ bersabda مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا “Perintahkanlah anakmu untuk shalat

The post Kewajiban Memerintahkan Anak untuk Shalat appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Rasulullah ﷺ bersabda

مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا

“Perintahkanlah anakmu untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkannya) ketika berumur sepuluh tahun.” (HR. Abu Dawud 495, At Tirmidzi 407 dan beliau berkata: hadits hasan shahih, Al Hakim 984 dan beliau menshahihkannya berdasarkan syarat Al Bukhari dan Muslim, dan hadits ini dishahihkan oleh Imam An Nawawi di Al Majmu’).

Beberapa pelajaran penting dari hadits ini:

[1] Kewajiban Wali untuk Memerintahkan Anak Shalat

Seorang wali—baik orang tua, kakek, atau nenek— wajib memerintahkan anak kecil untuk menunaikan shalat ketika anak tersebut telah berusia tujuh tahun dan sudah mumayyiz. Jika anak belum berusia tujuh tahun, atau sudah tujuh tahun tetapi belum tamyiz, maka belum ada kewajiban bagi wali untuk memerintahkannya shalat.

Kewajiban memerintah ini termasuk fardhu kifayah, artinya jika salah satu wali telah melakukannya, maka gugur kewajiban bagi wali lainnya.

[2] Kriteria Anak yang Mumayyiz (Tamyiz)

Kriteria anak yang sudah tamyiz menurut ulama adalah:

Menurut Hasyiyah at-Turmusi: Anak sudah mampu makan dan minum sendiri, serta membersihkan diri setelah buang hajat secara mandiri. Dan ini adalah kriteria yang paling bagus.

Menurut pendapat lain dari para fuqaha: Anak dianggap mumayyiz jika sudah bisa:

  • Membedakan kanan dan kiri,
  • Memahami dan membalas perkataan,
  • Mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan.

[3] Kewajiban Wali untuk Memukul Anak yang Meninggalkan Shalat Setelah Usia 10 Tahun

Seorang wali wajib memukul anak yang telah berusia 10 tahun apabila anak tersebut masih meninggalkan shalat. Pukulan ini bukanlah bentuk kekerasan atau pelampiasan emosi, melainkan pukulan edukatif sebagai bagian dari latihan agar anak terbiasa dalam beribadah dan tidak meremehkan shalat.

Pukulan boleh diberikan lebih dari tiga kali apabila memang diperlukan, selama tidak menimbulkan luka atau membahayakan anak. Jika satu-satunya cara agar anak mau shalat adalah dengan pukulan yang melukai, maka dalam kondisi seperti itu pukulan tidak dilakukan.

Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan batasan usia “10 tahun” yang dimaksud dalam hadits:

  • Ibnu Hajar: Anak dianggap berusia 10 tahun ketika telah sempurna 10 tahun (masuk tahun ke-11).
  • Ar-Ramli: Anak dianggap masuk usia 10 tahun saat sedang berada dalam usia 10 tahun (masih berjalan di tahun ke-10).

——-
📚 Sumber:
Disadur dari Al-Bayān wa at-Taʿrīf bi Maʿānī wa Masāʾil wa Aḥkām al-Mukhtaṣar al-Laṭīf hal. 183-184

Adid Adep Dwiatmoko
Santri Mahad Darussalam Angkatan 4

The post Kewajiban Memerintahkan Anak untuk Shalat appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2025/05/kewajiban-memerintahkan-anak-untuk-shalat/feed/ 0
Hukum Berbilangnya Shalat Jumat Dalam Satu Daerah https://darussalam.or.id/2025/02/hukum-berbilangnya-shalat-jumat-dalam-satu-daerah/ https://darussalam.or.id/2025/02/hukum-berbilangnya-shalat-jumat-dalam-satu-daerah/#respond Mon, 17 Feb 2025 01:45:45 +0000 https://darussalam.or.id/?p=2048 🔖 Forum Diskusi Santri, Masalah ke-15 ✒️ Hukum Berbilangnya Shalat Jumat Dalam Satu Daerah Sebelum melihat perbedaan pendapat ulama dalam

The post Hukum Berbilangnya Shalat Jumat Dalam Satu Daerah appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
🔖 Forum Diskusi Santri, Masalah ke-15
✒ Hukum Berbilangnya Shalat Jumat Dalam Satu Daerah

Sebelum melihat perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini, kata “daerah” dalam kitab kitab fiqh, secara asal diistilahkan dengan 3 istilah [1,2,3]

  • Mishr (مصر) : daerah yang di dalamnya terdapat 3 hal: pasar, pengadilan, dan kantor polisi
  • Balad (بلد) : daerah yang di dalamnya hanya terdapat satu atau dua saja dari 3 hal tadi, seperti hanya terdapat kantor polisi dan/atau pasar.
  • Qoryah (قرية) : daerah yang di dalamnya tidak ada satupun dari 3 hal tersebut.

📜 Perbedaan pendapat ulama dalam masalah berbilangnya jumatan

🏷 Pendapat pertama:
Secara asal, satu daerah didirikan satu jumatan. Namun, jika sulit, boleh berbilang sesuai kebutuhan.

Pendapat ini dinisbatkan pada ulama Hanabilah (istilah daerah: balad kabir, mishr) [4,6], Syafiiyyah (istilah daerah: balad, qoryah) [5,7,8], dan masyhur Malikiyah (istilah daerah: balad) [7,11]

Beberapa gambaran kesulitan yang dimaksud adalah

  • tempatnya sempit
  • adanya permusuhan antara penduduk
  • daerahnya terlalu luas
  • lokasinya berjauhan (ujung dengan ujung) [5]. Alasan ini juga yang membolehkan jumatan berbilang menurut Yahya bin Umar dari malikiyah [9] dan Abu Yusuf [10].

Malikiyah menambah syarat bolehnya berbilang jika hakim memutuskan sah shalat jumat di masjid yang baru [11].

🏷 Pendapat kedua
Satu daerah hanya boleh mendirikan satu jumatan walaupun sulit.

Ini merupakan salah satu qoul dalam madzhab Hanbali [15].

🏷 Pendapat ketiga
Boleh berbilang jumatan dalam satu daerah secara mutlak

Pendapat ini dinisbatkan kepada kalangan hanafiyah (istilah daerah: mishr, balad) [7, 12,13]. Muridnya, Muhammad bin al Hasan juga mengambil pendapat ini [10,14]. Imam Nawawi juga menyebutkan Atho dan Dawud adz dzhori berpendapat serupa [10].

Wallahu a’lam

📚 Sumber
1. Almausuah alfiqhiyyah alkuwaitiyyah, Juz 38: 26
2. Taliq alhamawi ala matan abi syuja: 81
3. Qutul habibil ghorib: 158
4. Umdatul lfiqh: 31
5. Nailur roja’: 252
6. Almughni, Juz 2:248
7. Alfiqh al-islamiy wa-adillatuh, Juz 2: 1294-1302
8. Almu’tamad: 507
9. Asysyarh alkabir liddardir wa-hasyiyah addasuqi, Juz 1: 374
10. Almajmu, Juz 4: 591
11. Alfiqh alal madzahibil arba’ah, Juz 1:350
12. Almausuah alfiqhiyyah alkuwaitiyyah, Juz 12: 235
13. Addurol Mukhtaar syarh tanwirul abshor wajaami’ul bihaar: 108
14. Almabsuth lissarkhosiy , Juz 2:120.
15. Syarh azzarkasyi ‘ala mukhtashor al khorqi, Juz 2: 196

——
📝Silakan follow media kami berikut untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

The post Hukum Berbilangnya Shalat Jumat Dalam Satu Daerah appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2025/02/hukum-berbilangnya-shalat-jumat-dalam-satu-daerah/feed/ 0