Ushul Fiqh Archives - Darussalam Asy Syafii https://darussalam.or.id/category/fiqh/ushul-fiqh/ Pusat Pembelajaran Fiqh Madzhab Asy-Syafi'i Wed, 08 May 2024 09:24:05 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.3 https://darussalam.or.id/wp-content/uploads/2019/08/cropped-ds-icon-32x32.png Ushul Fiqh Archives - Darussalam Asy Syafii https://darussalam.or.id/category/fiqh/ushul-fiqh/ 32 32 4 Jenis Perbuatan Yang Dibebankan Kepada Manusia https://darussalam.or.id/2024/05/4-jenis-perbuatan-yang-dibebankan-kepada-manusia/ https://darussalam.or.id/2024/05/4-jenis-perbuatan-yang-dibebankan-kepada-manusia/#respond Thu, 09 May 2024 01:00:25 +0000 https://darussalam.or.id/?p=1710 Dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh pembebanan ini dikenal dengan istilah taklif. Dalam kitab معالم أصول الفقه عند أهل السنة و

The post 4 Jenis Perbuatan Yang Dibebankan Kepada Manusia appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh pembebanan ini dikenal dengan istilah taklif.

Dalam kitab
معالم أصول الفقه عند أهل السنة و الجماعة
halaman 326 taklif dijelaskan secara bahasa dan istilah :

التكليف لغة إلزام ما فيه كلفة، و الكلفة هي المشقة

Secara bahasa taklif adalah mewajibkan pelaksanaan sesuatu yang di dalamnya terdapat beban yaitu kesulitan.

واصطلاحا إلزام مقتضى خطاب الشرع

Adapun secara istilah taklif adalah mewajibkan pelaksanaan sesuatu berdasarkan tuntutan seruan dari Syariah (khitab asy syar’i).

و المراد بمقتضى خطاب الشرع : الأمر و النهي و الإباحة

Yang dimaksud berdasarkan tuntutan seruan dari Syariah (khitab asy syar’i) mencakup perintah, larangan, dan ibahah alias mubah.

Inilah makna taklif secara singkat.

Berkaitan dengan taklif hukum syariah ini maka dari penjelasan para ulama ushuliy (ulama spesialis disiplin ilmu ushul fiqh) akan kita temukan bahwa perbuatan seorang hamba tidak akan keluar dari 4 jenis taklif!

Dalam kitab
مذكرة أصول الفقه على روضة الناظر
halaman 62, 63, dan 65 disampaikan :

الأول: الفعل الصريح كالصلاة

1. Taklif yang pertama adalah perbuatan yang jelas menunjukkan perbuatan semacam shalat.

الثانى: فعل اللسان وهو القول والدليل على أن القول فعل قوله تعالى: (زخرف القول غرورا ولو شاء ربك ما فعلوه)

2. Taklif yang kedua adalah perbuatan lidah yaitu ucapan, dalil bahwa ucapan itu adalah perbuatan yaitu Al Qur’an surat Al An’am ayat 112 : ‘sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya.’

الثالث: الترك و التحقيق أنه فعل وهو كف النفس وصرفها عن المنهى عنه

3. Taklif yang ketiga adalah tidak berbuat, dan hasil telaah yang mendalam menunjukkan bahwa tidak berbuat itu adalah perbuatan juga! Yaitu menahan diri dan memalingkan diri dari sesuatu yang dilarang.

وكقوله تعالى:” كانوا لا يتناهون عن منكر فعلوه لبئس ما كانوا يفعلون ” فسمى عدم تناهيهم عن المنكر فعلا وهو واضح

Dalilnya Al Qur’an surat Al Maidah ayat 79 : ‘mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat itu.’ Maka Allah menamai aktivitas tidak saling melarang kemungkaran sebagai perbuatan, dan ini tentu jelas.

وأما دلالة السنة ففى
أحاديث كقوله: (المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده) فسمى ترك الأذى اسلاما وهو يدل على أن الترك فعل

Adapun dalil As Sunnah, ditunjukkan oleh hadits Rasulullah Muhammad ﷺ : ‘seorang muslim sejati adalah ketika kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’ Rasulullah Muhammad ﷺ menamai perbuatan “tidak mengganggu” dengan islam. Ini dalil bahwa TIDAK BERBUAT ADALAH PERBUATAN.

الرابع: العزم المصمم على الفعل والدليل على أنه فعل قوله فى حديث أبى بكرة الثابت فى الصحيح اذا التقى المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول فى النار، قالوا يا رسول الله قد عرفنا القاتل فما بال المقتول، قال انه كان حريصا على قتل صاحبه

4. Taklif yang keempat adalah tekad kuat yang membaja untuk melakukan suatu perbuatan. Dalil bahwa ini adalah perbuatan yaitu sabda Rasulullah Muhammad ﷺ : ‘jika ada dua orang muslim yang membawa pedang berjumpa untuk saling menghabisi, maka pembunuh dan yang dibunuh masuk neraka, para sahabat bertanya wahai Rasulullah kami paham pembunuh masuk neraka, tapi mengapa yang dibunuh masuk neraka juga? Rasulullah Muhammad ﷺ menjawab karena dia sangat bertekad kuat ingin membunuh lawannya.’

فالحديث يدل دلالة لا لبس فيها على أن عزم هذا المقتول المصمم على قتل صاحبه فعل، دخل بسببه النار

Maka hadits ini merupakan dalil yang jelas penunjukannya tanpa ada kesamaran bahwa tekad kuat orang yang telah dibunuh untuk membunuh lawannya adalah perbuatan yang menyebabkan masuk ke dalam neraka.

Demikian penjelasan ringkas terkait hal ini. Semoga bermanfaat.

و الله تعالى أعلم بالصواب

Yurifa Iqbal (santri Ma’had Darussalam Asy Syafi’i angkatan 3)

Murajaah : ustaz Agus Abu Husain

The post 4 Jenis Perbuatan Yang Dibebankan Kepada Manusia appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2024/05/4-jenis-perbuatan-yang-dibebankan-kepada-manusia/feed/ 0
Konsep Takhsish Umum Bil Makna & Contohnya https://darussalam.or.id/2023/12/konsep-takhsish-umum-bil-makna-contohnya/ https://darussalam.or.id/2023/12/konsep-takhsish-umum-bil-makna-contohnya/#respond Thu, 28 Dec 2023 01:00:05 +0000 https://darussalam.or.id/?p=1461 Imam Asy Syafi’i diketahui punya 2 pendapat (qaul) yang berkaitan dengan pembahasan ini. Namun manakah dari 2 pendapat tersebut yang

The post Konsep Takhsish Umum Bil Makna & Contohnya appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Imam Asy Syafi’i diketahui punya 2 pendapat (qaul) yang berkaitan dengan pembahasan ini. Namun manakah dari 2 pendapat tersebut yang lebih kuat?

Sebelumnya perlu diketahui bahwa generasi salaf tidak menggunakan redaksi illah (العلة). Hanyalah yang generasi salaf gunakan dalam bahasan ini adalah redaksi makna (المعنى).

Di dalam kitab
البحر المحيط في أصول الفقه
juz 4 halaman 500 disampaikan :

المنقول عن الشافعي أنه لا يجوز تخصيص العموم بالمعنى

Yang dinukil dari Imam Asy Syafi’i adalah konsep takhsish umum bil makna tidak diperbolehkan.

Tidak diperbolehkannya konsep takhsish umum bil makna ini merupakan salah satu dari dua pendapat Imam Asy Syafi’i.

Pendapat Imam Asy Syafi’i yang lain menginformasikan bahwa konsep takhsish umum bil makna ini diperbolehkan!

Masih dalam kitab
البحر المحيط في أصول الفقه
juz 4 halaman 498 disampaikan :

أن هذه المسألة غير مسألة تخصيص العموم بالمعنى، فإن تلك للشافعي فيها قولان، ولهذا تردد في نقض الوضوء بالمحارم لأجل عموم ﴿أو لامستم النساء﴾ [النساء: ٤٣]، والتخصيص بالمعنى – وهو الشهوة – منتفية فيهم

Pada bahasan takhsish umum bil makna ini Imam Asy Syafi’i memiliki 2 pendapat. Oleh karena itu Imam Asy Syafi’i bimbang apakah sentuhan seorang Muslim kepada kulit wanita mahramnya membatalkan wudhu karena terdapat keumuman ayat (أو لامستم النساء = atau kalian telah menyentuh wanita), karena ayat ini ditakhsish/dikhususkan dengan makna yaitu ketiadaan syahwat pada wanita mahramnya.

Perlu diketahui bahwa tidak batalnya wudhu seorang Muslim yang menyentuh kulit wanita mahramnya adalah pendapat Imam Asy Syafi’i yang terkuat!

Masih dalam kitab
البحر المحيط في أصول الفقه
juz 4 halaman 499 disampaikan :

وأصح قوليه: أن الطهارة لا تنقض بمسهن

Pendapat Imam Asy Syafi’i yang terkuat adalah : wudhu seorang Muslim tidak batal karena menyentuh kulit wanita mahramnya.

Di dalam kitab
أثر تعليل النص على دلالته
halaman 133 terdapat keterangan sebagai berikut :

مثاله تعليل الحكم في آية ﴿أو لامستم النساء﴾ [النساء: ٤٣] بأن اللمس مظنة الاستمتاع، فإنه يخرج من النساء المحارم فلا ينقض لمسهن الوضوء، كما هو أظهر قولي الشافعي. الثاني: ينقض عملا بالعموم

Contohnya adalah illah (alasan hukum) pada ayat

(أو لامستم النساء = atau kalian telah menyentuh wanita),

dimana sentuhan ke wanita berpeluang memunculkan kenikmatan dan kelezatan, dan peluang ini tidak terjadi pada sentuhan ke kulit wanita yang ada hubungan mahram sehingga sentuhan ke wanita mahram tidak membatalkan wudhu yang merupakan pendapat terkuat dari 2 pendapat Imam Asy Syafi’i, adapun pendapat Imam Asy Syafi’i yang kedua adalah sentuhan kulit pada wanita mahram tetap membatalkan wudhu konsekuensi dari mengamalkan keumuman ayat Al Quran.

Dalam kitab
مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج
juz 1 halaman 68 disampaikan :

والقولان مبنيان على أنه هل يجوز أن يستنبط من النص معنى يخصصه؟ أو لا؟ والأصح الجواز

Pendapat batal atau tidak batalnya wudhu seorang Muslim yang menyentuh kulit wanita mahramnya didasarkan pada konsep apakah diperbolehkan menggali makna (illah alasan hukum) dari nash yang akan mengkhususkan keumuman nash atau tidak? Pendapat terkuat (الأصح, al ashshoh) dalam madzhab adalah diperbolehkan!

Kesimpulannya adalah sebagai keterangan dari kitab
كفاية الأخيار في حل غاية الإختصار
halaman 64 – 65 Darul Faiha berikut ini :

وإن لمس محرما بنسب أو رضاع أو مصاهرة٫ فهل ينتقض الوضوء؟ قولان

Apabila seorang Muslim menyentuh wanita mahramnya baik mahram nasab, mahram sepersusuan, atau mahram karena pernikahan, apakah wudhunya batal? Ada 2 pendapat.

أحدهما : ينتقض لعموم الآية٫ والراجح : أنه لا ينتقض٫ لأن المحرم ليست في مظنة الشهوة٫ ويجوز أن يستنبط من النص معنى يخصص عمومه٫ والمعنى في نقض الوضوء : كون غير المحرم في مظنة الشهوة ٫ وهذا مفقود في المحرم

Pendapat pertama wudhunya batal konsekuensi dari mengamalkan keumuman ayat Al Quran, sedangkan pendapat yang rajih (kuat, unggul) dalam madzhab wudhunya tidak batal, karena hubungan mahram tidak memunculkan peluang syahwat, dan diperbolehkan menggali makna (illah alasan hukum) dari nash yang akan mengkhususkan keumuman nash dimana illah batalnya wudhu karena menyentuh wanita bukan mahram adalah adanya potensi syahwat, dan potensi syahwat ini tidak ada pada hubungan mahram.

Demikian pembahasan ringkas konsep takhsish umum bil makna beserta contoh dan pendapat terkuat dalam madzhab Imam Asy Syafi’i.

الله أعلم

Yurifa Iqbal (santri Ma’had Darussalam Asy Syafi’i angkatan 3)

Murajaah : ustaz Agus Abu Husain

—–

📩 Silakan disebarkan dan follow media kami untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

 

The post Konsep Takhsish Umum Bil Makna & Contohnya appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2023/12/konsep-takhsish-umum-bil-makna-contohnya/feed/ 0
Metode Penulisan ilmu ushũl al-fiqh dan Faidah Mempelajarinya. https://darussalam.or.id/2020/05/metode-penulisan-ilmu-ushul-al-fiqh-dan-faidah-mempelajarinya/ https://darussalam.or.id/2020/05/metode-penulisan-ilmu-ushul-al-fiqh-dan-faidah-mempelajarinya/#respond Thu, 14 May 2020 20:17:30 +0000 https://darussalam.or.id/?p=454 Setelah Al Imam Asy syafi’i Rahimahullah menulis kitabnya Ar risalah, maka para aimmah bangkit menulis kitab-kitab ushũl mengikuti apa yang

The post Metode Penulisan ilmu ushũl al-fiqh dan Faidah Mempelajarinya. appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Setelah Al Imam Asy syafi’i Rahimahullah menulis kitabnya Ar risalah, maka para aimmah bangkit menulis kitab-kitab ushũl mengikuti apa yang telah di tulis oleh Al Imam asy syafi’i tentunya dengan metode yang semakin baik dan pembahasan-pembahasan yang disusun dengan semakin rapi dan lengkap. Para ulama yang menulis kitab ushũl al-fiqh dapat dibagi menjadi dua metode (thoriqoh) yaitu

Thoriqoh al fuqoha’ atau thoriqoh al hanafiyah.

Para ulama’ yang menulis kitab ushũl al-fiqh dengan thoriqoh ini mengistinbath kaidah-kaidah ushũliyyah dari furu’ (cabang/masãil) fiqhiyyah yang difatwakan oleh imam madzhabnya. Mereka menetapkan ushũl yang diyakini merupakan ushũl yang di pegang dan diaplikasikan oleh imam mereka di dalam ijtihadãt dan fatãwa nya.

Keistimewaan metode ini adalah bahwa metode ini sifatnya berupa praktek dan penerapan langsung dari kaidah. Kekurangannya adalah rentan sekali dengan ta’ashshub madzhabiy karena memang ushũlnya dikeluarkan hanya semata-mata dari masãil fiqhiyyah yang dinukil dari fatãwa Imam madzhabnya.

Diantara kitab ushũl yang ditulis dengan metode ini:

  1. Al fushũl fil ushũl, karya Al imam Abu Bakar Ahmad bin Ali yang dikenal dengan julukan Al Imam Al Jashshosh (w. 370 H).
  2. Taqwimul Adillah, karya Al Imam Abu Zaid Abdullah Bin Umar Ad Dabuusi (w. 430 H)
  3. Ushũl As sarkhosi, karya Al Imam Abu Bakar Muhammad Bin Ahmad As Sarkhosi (w. 490 H).

Thoriqoh al mutakallimin atau thoriqoh asy syafi’iyyah.

Para ulama’ yang menulis dengan metode ini umumnya akan menetapkan kaidah-kaidah ushũliyyah dan cara-cara beristidlal dengan kaidah-kaidah tersebut melalui dalil-dalil ‘aqliyyah (logika) dan naqliyyah (penukilan) tanpa disertai dengan pembahasan furu’ fiqhiyyah. Jika ada disebutkan furu’ fiqhiyyah maka itu semata-mata sebagai contoh saja. Keistimewaan metode ini adalah kaidah-kaidah ushũliyyah yang dibangun lepas dari masalah-masalah furu’ dan umumnya jauh dari ta’ashshub madzhabiy..

Diantara kitab ushũl al-fiqh yang ditulis dengan metode ini:

  1. Al mu’tamad, karya Al Imam Abul Husain Al Bashri Al Mu’tazili (w. 436 H)
  2. Al Burhan, karya Al Imam Al Haromain Al Juwaini Asy syafi’I (w. 468 H)
  3. Al Mustashfa, karya Al Imam Abu Hamid Al Ghazãli (w. 505 H)
  4. Al Wãdhih fi Ushũlil fiqh, karya Al Imam Abul Wafa’ bin ‘uqail Al Hambali (w. 513 H)
  5. Al Mahshũl, karya Al Imam Fakhruddin Ar Raazi (w. 606 H).
  6. Al Ihkãm fi Ushũlil ahkãm, karya Al Imam Saifuddīn Al Ãmidi (w. 631 H).

setelah mengetahui metode penulisan, lantas faidah apa yang akan di dapatkan dari mempelajari ilmu ushũl al fiqh yang disebutkan oleh para ulama, diantaranya [1]:

  1. Seseorang dapat memahami kitabullah dan hadits-hadits Rasulullah. Karena pemahaman yang benar akan keduanya hanya di peroleh jika melalui kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dan aimmah agama ini sejak zaman salafus sholih.
  2. Seseorang akan mendapati bahwa di dalam syariat ini tidak ada pertentangan. Mungkin awalnya, ia akan mendapati adanya pertentangan, namun bila ia memahami dengan baik kaidah-kaidah ta’arudh (pertentangan) dan tarjih maka akan tampak bahwa tidak ada pertentangan antara dalil-dalil yang ada, sehingga hilanglah kesamaran dan keraguan.
  3. Memahami ucapan para ulama dan mengetahui maksud mereka yang mana sering kali mereka menggunakan mustholahaat (terminologi) yang sangat khusus dalam ilmu fiqh maupun ushū Terminologi yang khusus ini tidak akan dapat dipahami dengan baik kecuali bagi orang yang telah mempelajari ilmu fiqh dan ushũlnya.
  4. Memahami hukum-hukum permasalahan-permasalahan kontemporer (nawaazil). Setiap tempat dan masa akan selalu muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai di zaman sebelumnya apalagi di zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk menerapkan dalil-dalil syar’i dalam permasalahan-permasalahan yang baru ini. Hal ini tentunya tidak mungkin bisa dilakukan melainkan jika seseorang benar-benar memahami kaidah-kaidah ushũl al fiqh dan penerapannya.
  5. Menyadari bahwa dengan ilmu inilah seorang baru bisa mencapai derajat mujtahid. Adalah kemustahilan, ada seorang mujtahid di setiap masa yang tidak menguasai dengan baik ilmu ushũl al fiqh. Disamping itu seseorang akan menyadari bahwa ijtihadaat dan ikhtilafaat para ulama’ itu bukan dibangun di atas “omong kosong” tapi benar-benar dibangun di atas dasar-dasar ilmiah, yang sangat bisa jadi berbeda antara satu ulama dari ulama lainnya sesuai latar belakang menuntut ilmunya dan madzhab fiqh yang diikutinya.
  6. Menyadari akan kadar diri dan kedudukan diri sendiri. Apakah ia termasuk seorang yang berhak berijtihad yang memang bisa mengambil hukum-hukum dari dalil-dalil secara langsung, ataukah ia hanya seorang awam yang tugasnya bertanya dan taqlid kepada para alim ulama’?

Setelah kita menyadari dan mengetahui akan faidah ilmu ini, maka bagaimana hukum mempelajari ilmu ushũl al fiqh ini? Para ulama’ mengatakan bahwa hukum belajar ilmu ushũl al fiqh adalah fardlu kifayah karena ilmu ini wajib atas sebagian dari kaum muslimin yang mampu untuk berijtihad dalam ilmu syar’i dan berfatwa dalam permasalahan-permasalahan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Oleh karenanya, para ulama’ yang diberi tanggung jawab sebagai qodhi dan mufti wajib atas mereka untuk mempelajari ilmu ini sehingga mereka mampu untuk sampai kepada kebenaran dengan dalil-dalilnya dan mengetahui bagaimana merojihkan perkataan antar ulama jika mereka berselisih.

[1] Syarh Al waroqoot lisy syaikh Sa’ad Ibn Nashir Asy syitsri : 11-13

Farid Fadhillah

Riyadh, 22/09/1441 H

The post Metode Penulisan ilmu ushũl al-fiqh dan Faidah Mempelajarinya. appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2020/05/metode-penulisan-ilmu-ushul-al-fiqh-dan-faidah-mempelajarinya/feed/ 0
Permulaan lahirnya Ilmu Ushul Fiqh https://darussalam.or.id/2020/05/permulaan-lahirnya-ilmu-ushul-fiqh/ https://darussalam.or.id/2020/05/permulaan-lahirnya-ilmu-ushul-fiqh/#comments Thu, 14 May 2020 00:45:25 +0000 https://darussalam.or.id/?p=442 Ilmu ushūl al-fiqh adalah sebuah ilmu yang berkembang bersama dengan ilmu fiqh sehingga ilmu ini sebenarnya sudah ada sejak zamannya

The post Permulaan lahirnya Ilmu Ushul Fiqh appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Ilmu ushūl al-fiqh adalah sebuah ilmu yang berkembang bersama dengan ilmu fiqh sehingga ilmu ini sebenarnya sudah ada sejak zamannya Rasulullah. Rasulullah adalah asal muasal dan sumber dari hukum syar’i karena beliau adalah yang menyampaikan wahyu dari Allah yang berupa Al Qur’an dan juga melalui sunnah-sunnahnya. Namun demikian pada masa Rasulullah masih hidup, manusia tidak membutuhkan kepada kaidah-kaidah syar’iyyah, lughowiyyah (bahasa) ataupun manthiqiyyah (logika) secara khusus karena hal ini sudah ada di dalam diri mereka. [1]

Para sahabat radliyallahu ‘anhum memahami ucapan-ucapan Rasulullah dan maksud dari ucapan-ucapan tersebut, mereka hidup dengan bahasa Arab yang fasih sehingga mereka mengetahui dengan baik penunjukan-penunjukan lafadz-lafadz dan uslub-uslub di dalam Al-Qur’an dan juga di dalam hadits-hadits Nabi. Mereka mengetahui dengan pasti kapan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan apa yang menjadi sebab turunnya. Mereka mengetahui juga mana ayat yang telah dihapuskan (mansukh) dan ayat mana yang menghapuskannya (naasikh). Mereka mengetahui perkataan-perkataan nabi, kepada siapa perkataan itu ditujukan, apa sebab rasulullah mengucapkannya. Mereka mengetahui tafsir-tafsir dari Rasulullah atas ayat-ayat Al-Qur’an. Pendek kata, ilmu-ilmu yang dicakup dalam ilmu ushũl al-fiqh ini telah tertanam di dalam diri mereka. [2]

Para fuqoha’ shohabat yang mana dari mereka lahir fatwa-fatwa dan ijtihad sepeninggalan Rasulullah, tidak diragukan lagi, mereka semua memiliki dan menguasai ilmu tentang kaidah-kaidah dan dhowabit ushũl itu di dalam dada-dada mereka, yang dengannya mereka mampu untuk istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil. Manhaj mereka di dalam fatwa dan ijtihad secara umum adalah dengan melihat kepada nash-nash dalam al qur’an dan as-sunnah, jika mereka dapati adanya nash Al-Qur’an yang tidak dihapus (mansukh), atau hadits yang shohih maka mereka beramal dengannya. Dan jika mereka tidak mendapati di dalam kedua sumber di atas maka mereka berijtihad.[3]

Kemudian datang generasi tabi’in, mereka mengikuti manhajnya para sahabat. Jika mereka tidak mendapati di dalam nash al qur’an ataupun hadits nabi maka mereka melihat kepada ijtihad para shohabat. Jika para bersepakat akan suatu pendapat maka mereka beramal dengannya. Adapun jika mereka berselisih atas suatu perkara dan masing-masing memiliki dalil yang kuat maka mereka merojihkan dengan melihat kepada jumlah shohabat yang berpegang kepada suatu pendapat karena Rasulullah bersabda

                                      فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم

Jika kalian melihat perselisihan maka wajib bagi kalian berpegang kepada kelompok yang besar (H.R. Ibnu Majah No. 788 , di dho’ifkan oleh Al Albani dalam silsilah al ahaadits adh dho’iifah No. 2896)

Jika kemudian jumlah shohabat di kedua pendapat sama maka mereka mendahulukan pendapat yang dipilih oleh para aimmatus shohabah yakni al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan dasar sabda Nabi

فعليكُم بسُنَّتِي ، و سُنَّةِ الخلفاءِ الرَّاشدين المهديِّين

Wajib atas kalian berpegang pada sunnahku dan sunnahnya al khulafa’ ar rasyidin  yang mendapat hidayah (H.R. Abu Dawud No. 4607, At tirmidzi No. 2676, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 17144, dan lafadz ini bagi Ibnu majah, dishohihkan oleh Al Albani dalam Shohih At Targhib : 37 )

Bahkan sekiranya pendapat yang dipilih oleh lebih banyak sahabat namun tidak ada satupun aimmatush shohabah yang berpendapat dengan pendapat tersebut, sementara pendapat lainnya dipilih oleh lebih sedikit shohabat namun para aimmah ternyata berpendapat dengannya maka kedua pendapat ini menjadi sama kekuatannya. Ini menunjukkan bagaimana para aimmatush shohabat ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Diantara para aimmah ini, Abu Bakr Ash shiddiq dan Umar Ibnul khattab lebih di dahulukan perkataannya karena sabda Rasulullah:

اقتدوا باللَّذَيْنِ من بعدي ؛ أبي بكرٍ و عمرَ

Ikutilah dua orang sepeninggalanku, Abu Bakar dan Umar. (H.R. At tirmidzi No. 3662, Ibnu Majah No. 97, Ahmad No. 23293, di shohihkan oleh Al Albani dalam shohih al jami’ No. 1142)

Di dalam hadits ini khusus disebutkan syaikhoin (abu bakar dan Umar).[4] Dan jika mereka tidak mendapati pendapat para sahabat dalam suatu masalah barulah mereka berijtihad.

Hal ini berlangsung terus hingga datangnya Nãshirus Sunnah Al Imam Muhammad Ibn Idris Asy syafi’i radliyallahu ‘anhu (150 – 204 H). Beliau menulis suatu kitab yang merupakan kitab ushũl al-fiqh pertama yang pernah di tulis dan sampai kepada masa kita sekarang[5]. Kitab Ar-risalah -demikianlah para ulama menyebutnya- beliau tulis atas permintaan Al Imam Abdurrahman Ibn Mahdi radliyallahu ta’ala ‘anhu. Di dalam kitab Ar risalah ini tercakup dalil-dalil dan tertib-tertibnya, di bahas tentang Al-Qur’an dan penjelasan akan hukum-hukumnya, di bahas tentang as sunnah, kehujjahan khobar ahad dan qiyas, pengingkaran terhadap istihsan yang menjadi pegangan bagi madzhab hanafi ketika itu. Selain itu juga dibahas tentang an nãsikh dan al mansũkh, al mujmal dan al mubayyan, al mutlaq dan al muqoyyad, al amr dan an nahy, al ‘am dan al khos dan masih banyak lagi pembahasan ushũl al-fiqh. Tujuan dari penulisan kitab Ar risalah ini adalah karena keinginan beliau untuk meletakkan dasar kaidah-kaidah umum yang mana orang-orang yang berselisih bisa kembali merujuk kepadanya, mendekatkan wijhatun nadhor (sudut pandang) para fuqoha’. [6]

[1] Ta’lim Ilmil ushūl : 43

[2] Idhooaat ‘ala matnil waroqot : 21

[3] ushūl al-fiqh , fiah mutakhossis li ghoiril ‘ulumis syar’iyyah : 12

[4] Al Luma’ 195-197.

[5] Dikatakan bahwa Al Imam Abu Yusuf shohibul Imam Abi Hanifah yang pertama menulis kitab ushūl al-fiqh, atau bahkan Al Imam Abu Hanifah sendiri yang pertama kali menulisnya, namun demikian tidak sampai karya mereka tersebut kepada kita sehingga tetap relevan jika dikatakan Al Imam Asy syafi’i yang pertama kali menulis kitab ushūl al-fiqh. Itupun yang sampai kepada kita adalah kitab ar risalah yang berisi qoul jadid beliau bukan yang qodim. Allahua’lam bish showab.

[6] ushūl al-fiqh , fiah mutakhossis li ghoiril ‘ulumis syar’iyyah : 13

Farid Fadhillah,

Riyadh, 21/09/1441

The post Permulaan lahirnya Ilmu Ushul Fiqh appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2020/05/permulaan-lahirnya-ilmu-ushul-fiqh/feed/ 1
Ushul Fiqh: Kandungan dan Faidahnya https://darussalam.or.id/2019/05/ushul-fiqh-kandungan-dan-faidahnya/ https://darussalam.or.id/2019/05/ushul-fiqh-kandungan-dan-faidahnya/#respond Sat, 18 May 2019 14:42:12 +0000 https://darussalam.or.id/?p=167 Allah subhanahu wa ta’ala sungguh telah mengaruniakan kepada kita dua karunia yang teramat besar yaitu dengan diutusnya Nabi yang mulia,

The post Ushul Fiqh: Kandungan dan Faidahnya appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Allah subhanahu wa ta’ala sungguh telah mengaruniakan kepada kita dua karunia yang teramat besar yaitu dengan diutusnya Nabi yang mulia, Nabiullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dan yang kedua yaitu dengan diturunkannya al-qur’an al karim. Sebuah kitab yang sangat agung, yang merupakan kalamullah ‘azza wa jalla, yang mengandung seluruh kebaikan dunia dan akhirat. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تركتُ فيكم أيُّها الناس، ما إنِ اعتصمتم به، فلن تضلُّوا أبدًا: كتاب الله، وسُنَّة نبيِّه

Kutinggalkan pada kalian wahai manusia, apa yang jika kalian berpegang teguh padanya maka tidak akan tersesat selamanya: kitabullah dan sunnah nabi-Nya. (H.R. Al baihaqi dalam dalailun nubuwwah : 5/449, dishohihkan oleh Al Albani dalam shohih at targhib)

Oleh karena itu, sejak awal dienul islam ini tumbuh, para ulama’ dari kalangan sahabat, para aimmatus salaf dan para ulama’ dari zaman ke zaman menaruh perhatian yang sangat besar kepada kedua sumber pokok hukum islam ini yaitu al qur’an dan as sunnah an nabawiyyah. Perhatian mereka bukan hanya sekedar menjadikan kedua pokok ini untuk di hafal atau dibaca saja bahkan mereka berusaha keras untuk memahami dan merenungkan faidah-faidah apa dibalik keduanya. Faidah-faidah ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan pemahaman yang benar terhadap al-qur’an dan as sunnah. Bertolak dari inilah para ulama’ merumuskan kaidah-kaidah baku yang dipakai untuk mengeluarkan hukum (istinbath) baik dari al qur’an maupun as sunnah. Kaidah-kaidah istinbath inilah yang menjadi salah satu pokok bahasan penting sebuah cabang ilmu islam yang sangat agung yaitu ilmu ushul fiqh.

Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dengannya seseorang dapat mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syar’iyyah. Ilmu ushul fiqh terdiri dari empat bagian utama:

  1. Penggambaran hukum-hukum islam secara universal seperti apakah itu wajib, mandub, mubah, makruh, harom, shohih, faasid dll.
  2. Dalil dan berdalil (istidlal) yaitu meliputi hal-hal yang boleh dijadikan dalil, syarat-syaratnya, cara atau metode berdalil. Sebagai contoh jika datang seseorang kepada kita berdalil dengan mimpi atau kisah-kisah atau yang semisalnya apakah boleh berdalil dengannya?
  3. Kaidah-kaidah istinbath yaitu meliputi bagaimana kita memahami suatu kalimat. Masuk kedalam bagian ini pembahasan hakikat dan majaz, umum dan khusus, mutlaq dan muqoyyad, dll. Seperti lafadz an-naas (manusia) pada sebagian ayat, apakah yang dimaksud adalah seluruh manusia ataukah yang dimaksud adalah sebagian manusia saja?
  4. Ijtihad dan taklid yaitu meliputi pembahasan siapa yang berhak untuk berijtihad, apa yang harus dilakukan bagi orang-orang yang tidak berhak untuk berijtihad. Siapa ‘alim yang berhak untuk ditaqlidi, bagaimana mengambil pendapat-pendapatnya dll.

Diantara faidah-faidah yang bisa di dapatkan dari mempelajari ilmu ushul fiqh:

  1. Memahami kitabullah azza wa jalla dan sunnah-sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Memahami bahwa syari’at ini tidak ada pertentangan satu sama lain, karena kadang-kadang seseorang mendapati sebagian nash itu seakan-akan bertentangan satu sama lainnya. Namun dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah tarjih dan ta’arudh antara nash-nash yang seakan-akan bertentangan tersebut maka akan tampak bahwa nash-nash itu tidak bertentangan satu sama lain.
  3. Memahami perkataan dan maksud dari para ulama’ dengan baik. Yang demikian ini karena para ulama’ banyak sekali menggunakan istilah-istilah yang tidak akan dapat diketahui maknanya dengan benar kecuali setelah mempelajari ilmu ushul fiqh.
  4. Memahami perkataan dan maksud dari ucapan manusia, klaim-klaim dan wasiat-wasiat mereka.
  5. Mengetahui hukum-hukum masalah-masalah kontemporer (nawazil).
  6. Menggapai derajat mujtahid
  7. Mengetahui bahwa ikhtilaf diantara para ulama’ itu bukan didasarkan pada sesuatu yang kosong atau mengada-ada tetapi benar-benar hal itu didasari atas kaidah-kaidah baku yang mereka gunakan.
  8. Menyadari akan kadar dirinya sendiri, apakah ia termasuk orang yang pantas untuk berijtiihad, yang bisa mengeluarkan hukum dari dalil-dalil secara langsung, ataukah ia adalah seorang muqollid yang kewajibannya adalah bertanya kepada ulama’. Mengetahui kepada siapa ia harus bertanya dalam permasalahan-permasalahan agama ini, dan ketika terjadi perselisihan antara ulama’, ia tahu apa yang harus dilakukan.

Allahua’lam bish showab

Diringkas oleh Farid Fadhillah dari dars Syaikhuna, Ma’ali Asy syaikh Saad Ibn Nashir Asy syitsri hafidhohullah atas al waroqot fi ushulil fiqh

Riyadh, 11 ramadhan 1440 H

The post Ushul Fiqh: Kandungan dan Faidahnya appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2019/05/ushul-fiqh-kandungan-dan-faidahnya/feed/ 0
Al-‘Illah Al Qōshiroh https://darussalam.or.id/2019/05/al-illah-al-qoshiroh/ https://darussalam.or.id/2019/05/al-illah-al-qoshiroh/#respond Mon, 13 May 2019 20:49:52 +0000 https://darussalam.or.id/?p=146 Al Imam Az zanjani dalam takhrijul furu’ ‘alal ushul-nya menyebutkan dalam masalah ke-2: al ‘illah al qōshiroh. ‘Illah adalah suatu

The post Al-‘Illah Al Qōshiroh appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
Al Imam Az zanjani dalam takhrijul furu’ ‘alal ushul-nya menyebutkan dalam masalah ke-2: al ‘illah al qōshiroh. ‘Illah adalah suatu makna yang berkonsekuensi adanya hukum, sebagaimana disebutkan Al Imam Asy Syirōzi dalam Al-luma’.

Para ulama ushul membagi ‘illah menjadi qōshiroh dan muta’addiyah yang masing-masing nya bisa manshushoh (yang tersebut langsung di dalam nash/tersurat) dan mustanbathoh (yang digali, tidak disebut langsung oleh nash/tersirat). Al-‘illah al qōshiroh  adalah ‘illah yang terbatas pada suatu nash saja (al ashl) dan tidak terdapat pada selainnya (al far’u). Sementara, al illah al muta’addiyah adalah ‘illah yang terdapat pada nash (al ashl) dan juga pada selainnya (al far’u). Contoh ‘illah muta’addiyah manshushoh adalah sabda Rasulullah sallallahu alaihi wasallam tentang kucing:

إنها ليست بنجس إنها من الطوافين عليكم والطوافات

‘Illah ini jelas disebutkan (manshush) yaitu karena kucing termasuk hewan yang banyak beredar di sekitar kita. Ia juga bersifat muta’addiyah kepada selain yang disebutkan di dalam nash seperti tikus misalnya dengan ‘illah yang sama yakni hewan yang banyak beredar di sekitar kita. Adapun contoh ‘illah qōshiroh manshushoh adalah wajibnya kafaroh bagi yang bersenggama di siang hari bulan ramadhan , contoh ‘illah qōshiroh mustanbathoh adalah misalnya safar yang boleh untuk berbuka (tidak berpuasa)

Perlu diketahui bahwa disini terjadi khilaf ushuliy antara hanafiyyah dan syafi’iyyah. Menurut madzhab kami ta’lil (beralasan) dengan al illah al qoshiroh itu shohih, sementara menurut Al imam abu hanifah rahimahullah hal itu bathil. Guru kami, Asy syaikh Sa’ad Asy syitsri  hafidhohullah berkata bahwa para ulama’ sepakat akan bolehnya ta’lil dengan ‘illah qoshiroh manshuhoh, adapun yang diperselisihkan oleh para ulama ushul adalah ta’lil dengan al illah al qoshiroh al mustanbathoh. Lebih lanjut lagi beliau mengatakan sumber khilaf itu adalah apakah faidah ta’lil itu. Oleh karenanya Imam Az zanjani rahimahullah menyebutkan bahwa mereka (hanafiyyah) berpendapat bahwa illah qoshiroh itu tidak ada faidahnya karena tidak bisa menetapkan hukum apapun selain apa yang ditetapkan oleh di dalam nash tersebut.

Berangkat dari khilaf ushuliy ini maka terjadi khilaf apakah hukum di dalam nash itu disandarkan kepada nash nya saja ataukah ia disandarkan kepada ‘illah-nya? Maka dalam madzhab kami ia disandarkan kepada nash-nya, sementara mereka mengatakan bahwa ia disandarkan kepada ‘illah-nya.

Dari khilaf ushul ini kita lihat contoh khilaf dalam furu’-nya seperti pada dua contoh berikut ini:

  1. Kotoran yang keluar dari selain dua jalan tidak membatalkan wudlu karena ‘illah-nya terbatas pada apa yang disebutkan dalam nash Sementara mereka, hanafiyyah berpendapat bahwa itu membatalkan wudlu karena ‘illah-nya adalah keluarnya najis tersebut dari tubuh.
  2. Batalnya puasa karena makan dan minum pada siang hari ramadhan tidak wajib kafarah karena ‘illah akan kafarah sebagaimana disebutkan di dalam nash yaitu hanya untuk yang batal karena bersenggama. Sementara mereka, hanafiyyah berpendapat bahwa, kafarah itu umum baik yang karena senggama atau selainnya, karena ‘illah-nya adalah batalnya puasa secara umum.

Allahua’lam bi-sh showab

Ditulis oleh al faqir ‘ila rahmati robbihi

Farid Fadhillah

Riyadh, 8 ramadhan 1440 H

The post Al-‘Illah Al Qōshiroh appeared first on Darussalam Asy Syafii.

]]>
https://darussalam.or.id/2019/05/al-illah-al-qoshiroh/feed/ 0