Syarat wajibnya puasa ada empat: islam, baligh, berakal dan mampu untuk berpuasa.
1. Islam
Puasa adalah sebuah ibadah yang tidak dituntut mengerjakannya melainkan ia seorang muslim. Adapun orang kafir maka tidak dituntut untuk melakukannya dalam keadaan kafirnya. Jika seorang kafir ashliy (dari awal memang sudah kafir) masuk kedalam islam maka tidak diwajibkan baginya untuk mengqodho’ (mengganti) apa yang terluput darinya selama ia dalam keadaan kafir. Berbeda halnya dengan seorang muslim yang kemudian murtad (keluar dari islam). Orang yang murtad maka tidak sah puasanya namun puasa itu wajib atasnya dan ia dibebani dengannya selama dalam keadaan murtad tersebut. Jika ia kembali masuk islam maka wajib atasnya mengqodho’ puasa yang terluput darinya selama ia dalam keadaan murtad.
2. Baligh
Tidak wajib berpuasa kecuali bagi yang telah baligh sebagaimana berlaku pada seluruh hukum-hukum syar’iyyah. Namun jika seorang anak kecil berpuasa, maka tetap sah puasanya. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits ‘ali bin abi tholib radliyallahu ta’ala ‘anhu:
رُفِع القَلمُ عن ثلاثةٍ: عن النَّائمِ حتَّى يستيقظَ، وعن الصَّبي حتَّى يحتلِمَ، وعن المجنونِ حتَّى يَعقِلَ
“Pena itu diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia bermimpi, dan dari orang yang gila sampai ia waras.” (HR. At tirmidziy : 1423, An Nasai : 7346, Ahmad : 956, di shohihkan oleh Al Albani dalam shohih sunan At Tirmidziy)
Makna dari diangkatnya pena adalah tidak dibebani dengan hukum-hukum syar’iyyah. Meskipun demikian seorang anak kecil tetap diperintah oleh wali-nya untuk melakukan puasa setelah usianya sempurna tujuh tahun jika ia mampu untuk berpuasa dalam rangka mendidik dan membiasakan ibadah tersebut. Dan dipukul jika meninggalkan puasa setelah umurnya sempurna sepuluh tahun. Hal ini diqiyaskan kepada ibadah sholat dimana Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda sebagaimana dalam hadits kakeknya ‘amr ibn syu’aib berikut:
مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah oleh kalian anak-anak kalian untuk sholat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (atas sholat, jika meninggalkannya) ketika mereka berusia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 495; Ahmad, II/180, 187; Al-Hakim, I/197, dihasankan oleh Al albani dalam shohih sunan Abi Dawud)
3. Berakal
Berakal juga merupakan salah satu syarat wajibnya puasa sebagaimana sudah disinggung pada hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu di atas. Seorang muslim bisa hilang akalnya karena beberapa sebab diantaranya:
a. Gila. Orang yang gila tidak wajib atasnya berpuasa dan bahkan tidak sah puasanya. Jika ia sembuh dari gilanya tidak wajib atasnya mengqodho’ apa yang terluput darinya selama dalam keadaan gilanya, baik gilanya sebentar ataupun lama, baik sadarnya setelah ramadhan ataupun di tengah-tengah romadhon.
b. Pingsan. Orang yang niat puasa kemudian pingsan pada keseluruhan siang maka tidak sah puasanya dan wajib untuk mengqodho’. Jika ia siuman dari pingsannya pada sebagian siang walaupun sebentar maka sah puasanya. Pingsan dibedakan dengan gila, karena pingsan di kategorikan sakit dan Allah berfirman tentang orang yang sakit:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (Q.S. Al Baqarah : 184)
c. Tidur. Orang yang tertidur maka sah puasanya walaupun ia tidur pada keseluruhan siang.
4. Mampu untuk berpuasa
Orang yang tidak mampu berpuasa baik secara hissiy ataupun secara syar’i maka tidak wajib untuk berpuasa. Secara hissiy misalnya seperti karena tua renta atau sakit yang memang tidak dapat diharapkan kesembuhannya. Maka mereka ini wajib membayar fidyah sebagaimana didasarkan pada firman Allah:
وعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS Al baqoroh : 184)
Adapun tidak mampu secara syar’i misalnya adalah seperti wanita yang haidh atau nifas. Wanita yang haidh atau nifas ini diharamkan atas mereka berpuasa[1] , tidak sah puasanya sampai mereka suci darinya dan wajib atas mereka qodho’ . Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كنا نحيضُ عند رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ثم نطهُرُ ، فيأمرُنا بقضاءِ الصيامِ ، ولا يأمرُنا بقضاءِ الصلاةِ
“Dahulu kami haidh kemudian kami suci darinya, maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengqodho’ puasa namun tidak memerintahkan kami mengqodho’ sholat.” (HR. al baghowi dalam syarhus sunnah (1/417))
Allahua’lam bish showab
Riyadh, 1 Ramadhan 1440 H
Farid Fadhillah
[1] Mughnil muhtaj (1/432), al majmu’ (6/259)