Para sahabat radliyallahu ‘anhum memahami ucapan-ucapan Rasulullah dan maksud dari ucapan-ucapan tersebut, mereka hidup dengan bahasa Arab yang fasih sehingga mereka mengetahui dengan baik penunjukan-penunjukan lafadz-lafadz dan uslub-uslub di dalam Al-Qur’an dan juga di dalam hadits-hadits Nabi. Mereka mengetahui dengan pasti kapan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan apa yang menjadi sebab turunnya. Mereka mengetahui juga mana ayat yang telah dihapuskan (mansukh) dan ayat mana yang menghapuskannya (naasikh). Mereka mengetahui perkataan-perkataan nabi, kepada siapa perkataan itu ditujukan, apa sebab rasulullah mengucapkannya. Mereka mengetahui tafsir-tafsir dari Rasulullah atas ayat-ayat Al-Qur’an. Pendek kata, ilmu-ilmu yang dicakup dalam ilmu ushũl al-fiqh ini telah tertanam di dalam diri mereka. [2]
Para fuqoha’ shohabat yang mana dari mereka lahir fatwa-fatwa dan ijtihad sepeninggalan Rasulullah, tidak diragukan lagi, mereka semua memiliki dan menguasai ilmu tentang kaidah-kaidah dan dhowabit ushũl itu di dalam dada-dada mereka, yang dengannya mereka mampu untuk istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil. Manhaj mereka di dalam fatwa dan ijtihad secara umum adalah dengan melihat kepada nash-nash dalam al qur’an dan as-sunnah, jika mereka dapati adanya nash Al-Qur’an yang tidak dihapus (mansukh), atau hadits yang shohih maka mereka beramal dengannya. Dan jika mereka tidak mendapati di dalam kedua sumber di atas maka mereka berijtihad.[3]
Kemudian datang generasi tabi’in, mereka mengikuti manhajnya para sahabat. Jika mereka tidak mendapati di dalam nash al qur’an ataupun hadits nabi maka mereka melihat kepada ijtihad para shohabat. Jika para bersepakat akan suatu pendapat maka mereka beramal dengannya. Adapun jika mereka berselisih atas suatu perkara dan masing-masing memiliki dalil yang kuat maka mereka merojihkan dengan melihat kepada jumlah shohabat yang berpegang kepada suatu pendapat karena Rasulullah bersabda
فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم
Jika kalian melihat perselisihan maka wajib bagi kalian berpegang kepada kelompok yang besar (H.R. Ibnu Majah No. 788 , di dho’ifkan oleh Al Albani dalam silsilah al ahaadits adh dho’iifah No. 2896)
Jika kemudian jumlah shohabat di kedua pendapat sama maka mereka mendahulukan pendapat yang dipilih oleh para aimmatus shohabah yakni al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan dasar sabda Nabi
فعليكُم بسُنَّتِي ، و سُنَّةِ الخلفاءِ الرَّاشدين المهديِّين
Wajib atas kalian berpegang pada sunnahku dan sunnahnya al khulafa’ ar rasyidin yang mendapat hidayah (H.R. Abu Dawud No. 4607, At tirmidzi No. 2676, Ibnu Majah No. 42, Ahmad No. 17144, dan lafadz ini bagi Ibnu majah, dishohihkan oleh Al Albani dalam Shohih At Targhib : 37 )
Bahkan sekiranya pendapat yang dipilih oleh lebih banyak sahabat namun tidak ada satupun aimmatush shohabah yang berpendapat dengan pendapat tersebut, sementara pendapat lainnya dipilih oleh lebih sedikit shohabat namun para aimmah ternyata berpendapat dengannya maka kedua pendapat ini menjadi sama kekuatannya. Ini menunjukkan bagaimana para aimmatush shohabat ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Diantara para aimmah ini, Abu Bakr Ash shiddiq dan Umar Ibnul khattab lebih di dahulukan perkataannya karena sabda Rasulullah:
اقتدوا باللَّذَيْنِ من بعدي ؛ أبي بكرٍ و عمرَ
Ikutilah dua orang sepeninggalanku, Abu Bakar dan Umar. (H.R. At tirmidzi No. 3662, Ibnu Majah No. 97, Ahmad No. 23293, di shohihkan oleh Al Albani dalam shohih al jami’ No. 1142)
Di dalam hadits ini khusus disebutkan syaikhoin (abu bakar dan Umar).[4] Dan jika mereka tidak mendapati pendapat para sahabat dalam suatu masalah barulah mereka berijtihad.
Hal ini berlangsung terus hingga datangnya Nãshirus Sunnah Al Imam Muhammad Ibn Idris Asy syafi’i radliyallahu ‘anhu (150 – 204 H). Beliau menulis suatu kitab yang merupakan kitab ushũl al-fiqh pertama yang pernah di tulis dan sampai kepada masa kita sekarang[5]. Kitab Ar-risalah -demikianlah para ulama menyebutnya- beliau tulis atas permintaan Al Imam Abdurrahman Ibn Mahdi radliyallahu ta’ala ‘anhu. Di dalam kitab Ar risalah ini tercakup dalil-dalil dan tertib-tertibnya, di bahas tentang Al-Qur’an dan penjelasan akan hukum-hukumnya, di bahas tentang as sunnah, kehujjahan khobar ahad dan qiyas, pengingkaran terhadap istihsan yang menjadi pegangan bagi madzhab hanafi ketika itu. Selain itu juga dibahas tentang an nãsikh dan al mansũkh, al mujmal dan al mubayyan, al mutlaq dan al muqoyyad, al amr dan an nahy, al ‘am dan al khos dan masih banyak lagi pembahasan ushũl al-fiqh. Tujuan dari penulisan kitab Ar risalah ini adalah karena keinginan beliau untuk meletakkan dasar kaidah-kaidah umum yang mana orang-orang yang berselisih bisa kembali merujuk kepadanya, mendekatkan wijhatun nadhor (sudut pandang) para fuqoha’. [6]
[1] Ta’lim Ilmil ushūl : 43
[2] Idhooaat ‘ala matnil waroqot : 21
[3] ushūl al-fiqh , fiah mutakhossis li ghoiril ‘ulumis syar’iyyah : 12
[4] Al Luma’ 195-197.
[5] Dikatakan bahwa Al Imam Abu Yusuf shohibul Imam Abi Hanifah yang pertama menulis kitab ushūl al-fiqh, atau bahkan Al Imam Abu Hanifah sendiri yang pertama kali menulisnya, namun demikian tidak sampai karya mereka tersebut kepada kita sehingga tetap relevan jika dikatakan Al Imam Asy syafi’i yang pertama kali menulis kitab ushūl al-fiqh. Itupun yang sampai kepada kita adalah kitab ar risalah yang berisi qoul jadid beliau bukan yang qodim. Allahua’lam bish showab.
[6] ushūl al-fiqh , fiah mutakhossis li ghoiril ‘ulumis syar’iyyah : 13
Farid Fadhillah,
Riyadh, 21/09/1441
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Afwan admin, apa semua artikel/konten yang ada diwebsite ini boleh disalin dan dibagikan?
Jazakumullahu khairan, baarakallahu fiikum