Bab Istihalah
Berkata Al-Imam Ibnu Naqib Al-Mishry –rahimahullahu ta’ala-:
1. Apabila khamr berubah menjadi cuka tanpa ada tambahan apapun, baik dengan cara berubah sendiri, dipindahkan dari tempat yang panas ke tempat yang teduh, atau dibuka tutupnya, maka khamr tersebut, bagian wadah yang tersentuh khamr dan yang di atasnya yang juga tersentuh khamr ketika dipanaskan, hukumnya suci.
2. Jika perubahan khamr menjadi cuka dengan tambahan sesuatu, maka ia tidak menjadi suci (najis).
Pembahasan Dibagh (samak)
1. Dibagh (samak) adalah menghilangkan sisa-sisa yang ada pada kulit dengan menggunakan sesuatu yang pedas/sepat meski kotoran burung. Dan tidak cukup dengan menggunakan garam, tanah, atau dipanasi.
2. Tidak wajib menggunakan air ketika melakukan proses menyamak, sehingga setelah disamak itu hukumnya seperti baju yang terkena najis sehingga wajib disucikan menggunakan air setelah selesai proses menyamak.
3. Kulit anjing dan babi tidak menjadi suci dengan disamak.
4. Jika di atas kulit yang disamak ada rambut, maka rambut itu tidak menjadi suci dengan disamak akan tetapi dimaafkan jika sedikit.
Najis Anjing dan Babi (Mugholadzhoh)
1. Sesuatu menjadi najis ketika bersentuhan dengan anjing dan babi (jika ada unsur basah salah satunya)
2. Najis anjing dan babi tidak menjadi suci kecuali dengan mencuci tujuh kali yang dicampur salah satunya dengan tanah suci mensucikan yang menyeluruh ke semua area yang terkena najis.
3. Wajib mencampur tanah dengan air thohur.
4. Disunnahkan untuk menggunakan air campuran tanah pada cucian yang bukan cucian terakhir (cucian ke 1-6)
5. Tidak ada yang menggantikan posisi tanah baik sabun atau tanaman dalam menyucikan najis anjing dan babi.
Masa`il
1. Jika seseorang melihat kucing memakan sesuatu yang najis, kemudian kucing itu minum air yang kurang dua kulah tanpa pergi terlebih dahulu dari tempat air tersebut, maka kucing tadi menajiskan air kurang dari dua kulah.
2. Jika kucing tersebut sempat pergi dalam waktu yang memungkinkan kucing tersebut untuk memasukkan lidah ke air dua kulah lalu minum di air yang kurang dari dua kulah, maka itu tidak menajiskannya (air yang kurang dari dua kulah).
3. Asap dari sesuatu yang najis hukumnya najis dan dimaafkan jika sedikit.
4. Jika diusap asap yang banyak pada tanur (kompor tembikar yang bahan bakarnya kotoran kambing) dengan kain kering lalu hilang bekas asapnya, maka tanur itu telah suci. Jika basah, maka tidak suci.
5. Jika membuat roti di atas tanur, maka bagian atas roti itu suci dan bagian bawahnya yang menempel dengan tanur itu najis.
Najis kecing bayi (Mukhoffafah)
1. Kencing bayi laki-laki yang belum makan kecuali ASI, maka cukup disucikan dengan cara dipercikkan air yang meliputi seluruh area najis dan tidak disyaratkan harus mengalir airnya.
2. Adapun bayi perempuan (demikian pula khuntsa) maka hukumnya seperti orang dewasa (najis mutawasithoh.
Najis Mutawasithoh
1. Najis-najis selainnya (mutawasithoh), jika tidak ada ‘ain/fisik najisnya maka cukup alirkan air di atas najis itu (hukmiyyah).
2. Jika punya ‘ain/fisik, maka wajib hilangkan najis rasa meski sulit, dan ‘ain najis warna dan bau jika mudah.
3. Jika sulit menghilangkan bau saja atau warna saja, maka tidak berpengaruh bekasnya. Jika masih ada bekas bau dan warna sekaligus, maka tetap najis.
4. Ketika air sedikit, disyariatkan air mendatangi tempat najis dan tidak disyaratkan diperas (untuk yang najis hukmiyyah).
5. Disunnahkan setelah suci (hilang ‘ain dari cucian pertama) untuk mencuci lagi sampai cucian ketiga.
6. Dicukupkan bagi tanah yang najis dengan najis cair (seperti khamr misalkan) untuk menuangkan air yang banyak dan tidak disyaratkan harus kering serta meresap ke tanah.
7. Jika hilang bekas najis di tanah dengan sebab matahari, api, angin, maka tidak dihitung suci sampai dicuci dengan air.
Setiap cairan selain air seperti cuka dan susu, apabila menjadi najis, maka tidak mungkin bisa menyucikannya.
8. Adapun jika benda yang ternajisi itu padat seperti mentega/keju yang padat lalu terkena najis, maka yang najis hanya bagian terkena ‘ain najasah dan sisanya tetap suci.
9. Air yang dipakai menyucikan benda najis (air mendatangi najis), jika berubah zat atau bertambah volumenya, maka air tersebut najis. Jika tidak, maka tetap suci (musta’mal).
10. Jika air musta’mal/ghusalah mencapai dua kulah, maka ia tetap thahur (suci menyucikan). Jika kurang dua kulah, maka hukumnya hukum sesuatu yang dicucinya setelah dighusl (dicuci). Dengan perincian, jika keadaan yang dicuci itu suci (setelah ghusl), maka airnya suci. Jika sesuatu itu najis setelah dighusl, maka airnya pun jadi najis.
✍🏻Mochamad Rido Rizki Ahad (Santri Ma’had Darsussalam As-Syafi’i)
Muraja’ah : Ustadz Agus Abu Husain