Forum Diskusi Santri Mahad Darussalam
Masalah ke-13:
Hukum Akad Mudharabah dengan Modal Berupa Barang (non uang)
Akad mudharabah (juga dikenal sebagai qiradh) adalah kontrak kerjasama di mana satu pihak (pemilik modal atau rabbul mal) menyediakan modal kepada pihak lain (pengelola atau mudharib) untuk diinvestasikan dalam usaha tertentu. Para ulama telah bersepakat tentang kebolehan akad ini jika modal yang diserahkan berupa uang/alat tukar [1,2,3,4]. Namun, bagaimana hukumnya jika modal yang diserahkan adalah berupa barang?
Terdapat dua pendapat mengenai hukum mudharabah dengan modal berupa barang (non uang), yakni sebagai berikut:
Pendapat pertama: Mudharabah dengan modal berupa barang (non uang) tidak diperbolehkan. Pendapat ini disepakati oleh empat madzhab [5]; baik Malikiyah [6], Hanafiyah [7], Syafiiyyah [8,9,10], ataupun Hanabilah [3]. Beberapa alasan mengapa hal tersebut tidak diperbolehkan diantaranya adalah:
- Adanya ghoror di akad, yaitu ketidakjelasan pada pekerjaan dan keuntungannya [9].
- Bertentangan dengan tujuan awal qiradh, yaitu kembalinya modal beserta bagi hasilnya. Jika menggunakan barang (non uang) sebagai modal, nilai barang bisa bertambah dan bisa pula berkurang, yang bisa memberikan madharat, baik bagi pengelola ataupun pemilik modal [5].
Pendapat kedua: Mudharabah dengan modal berupa barang (non uang) diperbolehkan, dan nilai barang tersebut ditentukan pada saat akad dalam bentuk mata uang. Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama salaf, di antaranya Abu Bakr, Abu Khattab, Malik, Ibnu Abi Laila, Thawus, Al-Auza’i, dan Hammad bin Abi Sulaiman [3]. Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad [11], dan juga merupakan pendapat Asy Syaukani [12], serta merupakan pandangan yang dipilih oleh Ibnu Qayyim [13], dan Ibnu Utsaimin [14]. Diantara alasan-alasan yang mendasari pendapat ini adalah sebagai berikut:
- Tujuan mudharabah adalah pengelolaan modal dan pembagian keuntungan dari modal tersebut, yang dapat tercapai baik dengan barang dagangan maupun dengan uang [15].
- Semua akad yang sah menggunakan uang, maka sah juga menggunakan barang-barang, berdasarkan qiyas pada jual-beli. Mudharabah adalah masalah turunan (far’) dari jual beli (ashl) [16].
Pendapat ini juga didukung oleh pendapat Al Furani yang membolehkan modal berupa barang mitsli (non uang), yakni barang-barang yang memiliki padanan yang semisal, seperti biji-bijian dan minyak, karena keserupaannya dengan uang/alat bayar [17].
Dirangkum oleh Adid Adep Dwiatmoko (santri Ma’had Darussalam Asy Syafi’i angkatan 2)
Murajaah : Ustadz Agus Abu Husain
Referensi:
1. Al Ausath 10/561, via dorar.net
2. Al Muhalla 7/96, via dorat.net
3. Al Mughni 5/12-13, via dorar.net
4. Al Isyraf ‘ala Madzhabil ‘Ulama 6/97
5. Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 38/44
6. Hasyiyah As Shawi ‘alasy Syarhish Shaghiir 3/682
7. Bada-i’us Shana-i’i fi Tartiibis Syara-i’i 6/82
8. Umdatus Salik 173
9. Kifayatul Akhyar 288
10. Hasyiyah Al Bajuri 2/41
11. Al Inshaf 5/303, via dorar.net
12. As Sailul Jarar 595, via dorar.net
13. Ighatsatul Lahfan 2/19, via dorar.net
14. Liqa-ul Babil Maftuh 165, via dorat.net
15. Al Ma’aayiirus Syar’iyyah 195
16. Al Hawi Al Kabir 7/307
17. Raudhatut Thalibin 5/117
——-
📝Silakan follow media kami berikut untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam
Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h