Rincian Hukum Ketika Penghalang Shalat Muncul atau Hilang dalam Rentang Waktu Shalat: Panduan tentang Kewajiban dan Qadha

Shalat merupakan salah satu kewajiban agung dalam Islam. Kewajiban ini disyariatkan untuk seluruh hamba yang sudah terpenuhi syarat-syaratnya atau tidak memiliki penghalang-penghalang. Dalam fikih mazhab Syafi‘i, terdapat pembahasan mendetail tentang hukum shalat ketika seseorang memiliki penghalang (المانع), yang menghalangi kewajiban shalat, seperti haid, nifas, keadaan belum baligh, atau kehilangan akal. Artikel ini merangkum dua kondisi, yakni saat munculnya penghalang dan saat hilangnya penghalang tersebut dalam rentang waktu shalat, serta menjelaskan kapan shalat wajib ditunaikan atau diqadha menurut pendapat ulama Syafi‘iyah.

1. Hilangnya Penghalang Sebelum Waktu Shalat Berakhir

Apabila seseorang mengalami hilangnya penghalang yang sebelumnya menggugurkan kewajiban shalat, seperti:

  • Anak kecil yang menjadi baligh
  • Wanita yang menjadi suci dari haid atau nifas
  • Orang yang sadar dari hilang akal (gila, pingsan, mabuk)

sebelum waktu shalat berakhir, maka ia wajib menunaikan shalat tersebut, dengan syarat waktu yang tersisa masih cukup untuk takbiratul ihram (yakni takbir pertama dalam shalat).

Contoh:

Seorang wanita suci dari haid menjelang akhir waktu Subuh, meskipun hanya cukup untuk takbiratul ihram, maka ia wajib menunaikan shalat Subuh. Jika dilakukan setelah matahari terbit, maka statusnya adalah qadha.

Ketentuan tambahan: Jika Shalatnya Bisa Dijamak, Maka Wajib Qadha Shalat Sebelumnya

Apabila shalat yang wajib ditunaikan tersebut termasuk shalat yang bisa dijamak dengan shalat sebelumnya, seperti Ashar (yang bisa dijamak dengan Zhuhur) atau Isya (yang bisa dijamak dengan Maghrib), maka wajib pula menunaikan shalat sebelumnya, walaupun waktu shalat itu telah lewat saat masih ada penghalang.

Contoh:

  • Wanita yang suci dari haid di akhir waktu Ashar, maka ia wajib menunaikan shalat Ashar (karena waktunya masih tersisa), dan Zhuhur (karena keduanya bisa dijamak).
  • Orang yang sadar dari gila di akhir waktu Isya, maka ia wajib menunaikan shalat Isya (dalam waktu), dan juga Maghrib.

Syarat Tambahan bagi yang Sembuh dari Hilang Akal

Bagi orang yang sembuh dari gila, pingsan, atau mabuk, ada syarat tambahan: Ia tidak kembali mengalami hilang akal dalam rentang waktu yang cukup untuk bersuci dan melaksanakan shalat.

Jika setelah sadar, ia kembali hilang akal di rentang waktu yang tidak memungkinkan untuk bersuci dan shalat, maka ia tidak wajib menunaikan shalat tersebut, karena tidak ada waktu sadar yang cukup untuk menjalankan kewajiban.

2. Datangnya Penghalang setelah Masuk Waktu Shalat

Jika seseorang terkena penghalang setelah masuk waktu shalat, maka perlu dilihat apakah sebelum penghalang itu datang, sempat berlalu waktu yang cukup untuk menunaikan shalat fardhu secara minimal? Jika ya, maka ia wajib mengqadha shalat tersebut setelah penghalang hilang, karena sudah ada kesempatan menunaikannya sebelumnya.

Contoh:

  • Seorang wanita yang mengalami haid 10 menit setelah masuk waktu Zhuhur,  maka dia wajib mengqadha shalat Zhuhur tersebut setelah sucinya. Karena 10 menit ini mencukupi untuk shalat zhuhur minimal sah.
  • Seseorang menjadi gila setelah masuk waktu Maghrib, padahal sempat sadar sebelumnya seukuran waktu untuk shalat, maka dia wajib mengqadha setelah sembuh.
  • Wanita melahirkan dan mengalami nifas beberapa saat setelah masuk Subuh, dan sempat ada waktu cukup untuk menunaikan shalat, maka dia wajib mengqadha shalat Shubuh tersebut setelah suci.

Catatan:

Yang dijadikan ukuran adalah adanya waktu setelah masuk waktu shalat yang cukup untuk menunaikan shalat secara sah, meskipun hanya fardhu dan tanpa sunnah tambahan.

Bagi orang yang memiliki penyakit seperti inkontinensia urin (salasul baul) atau wanita istihadhah, maka ukuran waktu  setelah masuk waktu shalat adalah seukuran bersuci dan shalat minimal, karena kategori orang seperti ini baru boleh melakukan thaharah setelah masuk waktu shalat.

 

📚 Sumber Rujukan: Al-Bayān wa at-Taʿrīf bi Maʿānī wa Masāʾil wa Aḥkām al-Mukhtaṣar al-Laṭīf, hlm. 184–186

Disadur oleh:
Adid Adep Dwiatmoko, Santri Angkatan 4, Mahad Darussalam Asy Syafii

——
📝
Silakan follow media kami berikut untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *