Penjelasan tentang Syarat-syarat Sah Shalat
Syarat dari suatu perkara adalah segala sesuatu yang keberadaan perkara tersebut bergantung padanya, namun ia bukan bagian dari perkara itu sendiri. Contohnya: Tanaman di permukaan bumi. Tidak mungkin tanaman ada di atas permukaan bumi tanpa adanya hujan, padahal hujan itu bukan bagian dari tanaman. Maka hujan adalah syarat bagi adanya tanaman. (Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i, juz 1, hal. 121)
Dalam konteks ini, syarat sah sholat adalah segala hal yang harus dipenuhi oleh seorang sebelum atau selama melaksanakan sholat, agar sholatnya sah menurut syariat Islam. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka sholat tersebut tidak dianggap sah. Berikut adalah sebelas (11) syarat-syarat sahnya shalat menurut penulis Al Bayan wat Ta’rif:
- Mengetahui Masuknya Waktu Shalat
Pengetahuan tentang masuknya waktu shalat bisa didapat melalui dua cara:
- Secara yakin, misalnya seseorang melihat matahari terbenam, maka dia yakin waktu maghrib telah masuk.
- Secara prasangka kuat (dzan) yang didasarkan pada ijtihad (usaha maksimal untuk mengetahui waktu shalat)
Jika seseorang memulai shalat tanpa mengetahui apakah waktu telah masuk, baik secara yakin maupun ijtihad, maka shalatnya tidak sah, walaupun ternyata ia berada dalam waktu shalat.
Bila seseorang tidak mampu mengetahui waktu shalat secara mandiri, maka ia wajib menerima informasi dari orang yang terpercaya, seperti adzan dari muadzin yang diketahui ketepatannya. Jika tidak menemukannya, maka wajib berijtihad, misalnya dengan memperkirakan dari lamanya membaca Al-Qur’an atau aktivitas tertentu.
- Menghadap Kiblat
Maksudnya adalah menghadap ke arah Ka’bah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144).
An-Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Masjidil Haram” di ayat ini adalah Ka’bah itu sendiri. Beliau berkata:
وَالْمُرَادُ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ هُنَا: الْكَعْبَةُ نَفْسُهَا. وَشَطْرُ الشَّيْءِ يُطْلَقُ عَلَى جِهَتِهِ وَنَحْوِهِ، وَيُطْلَقُ عَلَى نِصْفِهِ. وَالْمُرَادُ هُنَا: الْأَوَّلُ
“Yang dimaksud dengan al-Masjid al-Haram dalam konteks ayat ini adalah Ka’bah itu sendiri. Kata syathr (شطر) dapat digunakan untuk menunjukkan arah suatu benda atau yang semisalnya, dan juga dapat digunakan untuk menunjukkan separuh dari sesuatu. Namun yang dimaksud dalam konteks ayat ini adalah makna pertama (yaitu arah)…”
(Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, juz 3, hal. 193, Library islamweb.net)
Ketentuan menghadap kiblat:
- Bagi yang bisa melihat Ka’bah atau menyentuhnya secara langsung, maka wajib menghadap ke bangunannya secara pasti (yakin).
- Bagi yang tidak bisa melihat Ka’bah, cukup menghadap berdasarkan perkiraan (dzan).
Pengecualian:
Ada dua keadaan yang dikecualikan dalam kewajiban menghadap kiblat ini:
- Shalat sunnah dalam perjalanan.
Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ، نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
” Rasulullah ﷺ dahulu mengerjakan shalat (sunnah) di atas tunggangannya ke arah mana pun tunggangannya menghadap. Namun jika beliau hendak melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraannya, menghadap kiblat.” (HR. Al Bukhari 400).
Tata cara shalat sunnah di saat perjalanan dalam kaitannya dengan menghadap kiblat adalah sebagai berikut:
- Jika naik kendaraan (rākiban) dan mudah menghadap kiblat serta menyempurnakan ruku’ dan sujud, maka wajib baginya untuk menghadap kiblat, menyempurnakan ruku’ dan sujud, serta melakukan seluruh rukun sesuai kemampuan.
- Jika naik kendaraan (rākiban) dan sulit untuk menghadap kiblat, cukup menghadap kiblat saat takbiratul ihram saja jika memungkinkan. Sedangkan untuk keseluruhan shalatnya, ia menghadap ke arah tujuan perjalanannya. Ia berisyarat untuk ruku’ dan sujud sesuai kemampuannya, serta wajib menjadikan sujudnya lebih rendah daripada rukuknya, jika memungkinkan.
- Jika berjalan kaki (māsyiyan), wajib menghadap kiblat saat (1) takbiratul ihram, (2) ruku’, (3) sujud, dan (4) duduk antara dua sujud. Sisanya boleh tidak menghadap.
Perlu diingat, perjalanan yang dibolehkan shalat sunnah dengan tidak menghadap kiblat adalah perjalanan yang bukan dalam rangka tujuan maksiat.
- Dalam shalat dalam keadaan sangat takut (صَلَاةُ شِدَّةِ الْخَوْفِ).
Allah Ta’ala berfirman;
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
” Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239).
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma jika ditanya tentang shalat dalam keadaan takut, ia menjawab:
فَإِنْ كَانَ خَوْفًا أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالًا قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ، أَوْ رُكْبَانًا عَلَى دَوَابِّهِمْ مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ
“…jika (keadaan) takut itu lebih besar dari itu, maka mereka shalat sambil berjalan kaki dalam keadaan berdiri di atas kaki mereka, atau di atas tunggangan mereka, menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat.” Imam Malik berkata, “Nafi’ mengatakan:
لَا أَرَى عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ ذَكَرَ ذَٰلِكَ إِلَّا عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ
‘Aku tidak melihat Abdullah bin Umar menyebutkan hal itu kecuali dari Rasulullah ﷺ’. (HR. Al Bukhari 4535).
Maka orang yang shalat dalam kondisi sangat takut —seperti ketika menghadapi musuh atau dalam situasi bahaya yang semisalnya— diberi keringanan untuk tidak menghadap kiblat. Ia juga diperbolehkan melakukan banyak gerakan berturut-turut yang diperlukan, seperti memukul, menusuk, atau melompat secara terus-menerus demi menjaga keselamatan.
- Menutup Aurat
Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat seorang wanita yang sudah haid (baligh) kecuali dengan mengenakan kerudung.”
(HR. Abu Dawud 641, at-Tirmidzi 377 dan beliau berkata: hadits hasan, Ibnu Majah 655, Al Hakimi 956 dan beliau menshahihkannya).
Syarat penutup aurat:
- Harus menutup seluruh aurat yang wajib ditutup secara dipakai atau yang semisalnya.
- Harus memiliki fisik (جرم) sehingga tidak menampakkan warna kulit ketika dilihat pada jarak majelis berbincang (yakni sekitar 1,5 m) untuk mata normal.
Jika seseorang tidak memiliki pakaian yang menutup aurat, maka dia shalat dalam keadaan telanjang dan tidak wajib mengulangi shalatnya.
- Suci dari Hadats Besar dan Hadats Kecil
Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ
“Shalat tidak diterima tanpa bersuci.” (HR. Muslim 224)
Bersuci dari hadats dapat dilakukan dengan air atau, jika tidak memungkinkan, dengan tanah. Jika menggunakan air, hadats kecil dihilangkan dengan wudhu, sedangkan hadats besar dihilangkan dengan mandi wajib. Namun, jika seseorang tidak menemukan air atau tidak mampu menggunakannya karena alasan syar’i, maka ia boleh bertayamum menggunakan tanah yang suci. Jika tidak tersedia air maupun tanah untuk bersuci, maka ia tetap wajib melaksanakan shalat sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu shalat, dan ia harus mengulanginya setelah memungkinkan bersuci.
- Suci dari Najis
Yakni suci dari najis yang tidak dimaafkan, baik pada pakaian, badan, maupun tempat yang digunakan untuk shalat. Yang menegaskan hal ini adalah sabda Rasulullah ﷺ kepada Fathimah binti Abu Hubaisy radhiyallahu ‘anha:
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ، وَصَلِّي
“Jika datang haid, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika haid sudah berhenti, maka cucilah darah darimu, lalu shalatlah.” (HR. Al Bukhari 306, Muslim 333)
Barang-barang yang dibawa oleh seseorang saat shalat memiliki hukum yang sama seperti pakaian yang dikenakannya, sehingga wajib bebas dari najis. Hal yang sama berlaku untuk anggota badan, yang harus disucikan dari najis, termasuk bagian dalam mata, rongga mulut, dan hidung. Adapun yang dimaksud dengan tempat shalat adalah bagian permukaan yang bersentuhan langsung dengan tubuh orang yang shalat atau dengan benda yang dipakainya, seperti sajadah atau pakaian.
- Mengetahui Rukun (Fardhu) dan Sunnah Shalat
Yang dimaksud di sini adalah seseorang yang tidak meyakini bahwa suatu rukun shalat adalah rukun, melainkan menganggapnya hanya sebagai sunnah. Misalnya, ia mengira bahwa ruku’ hanyalah sunnah, padahal ruku’ adalah salah satu rukun/fardhu dalam shalat. Lalu bagaimana jika seseorang meyakini bahwa seluruh gerakan dalam shalat adalah fardhu, atau meyakini bahwa sebagian fardhu dan sebagian lainnya sunnah—tanpa menyebutkan secara spesifik bahwa suatu rukun tertentu adalah sunnah? Dalam hal ini, jika ia adalah orang awam, maka shalatnya tetap sah.
Namun jika ia adalah penuntut ilmu yang telah cukup waktu belajar sehingga seharusnya mampu membedakan antara rukun dan sunnah dalam shalat, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Ibnu Hajar, shalatnya tetap sah. Sedangkan menurut Ar-Ramli, shalatnya tidak sah.
- Mengetahui bahwa Shalat itu Wajib. Shalat tidak sah jika seseorang ragu bahwa shalat itu wajib, atau meyakini bahwa shalat hanya sunnah.
- Menjauhi Hal-Hal yang Membatalkan Shalat. Termasuk di dalamnya adalah makan, minum, atau berbicara di tengah-tengah shalat.
- Beragama Islam.
- Sudah Tamyiz.
- Mengetahui Tata Cara Shalat. Orang yang tidak tahu bagaimana cara melaksanakan shalat sama sekali, maka shalatnya tidak sah hingga ia belajar.
📚 Sumber Rujukan: Al-Bayān wa at-Taʿrīf bi Maʿānī wa Masāʾil wa Aḥkām al-Mukhtaṣar al-Laṭīf, hlm. 192–197
Disadur oleh: Adid Adep Dwiatmoko Santri Angkatan 4
Mahad Darussalam Asy Syafii
——
📝Silakan follow media kami berikut untuk mendapat update terkait Mahad Darussalam
Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h