Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat

Shalat adalah ibadah yang sangat agung dan kewajiban yang telah Allah syariatkan kepada setiap Muslim. Bahkan ibadah shalat adalah salah satu rukun dalam Islam. Namun demikian, ada kalanya sebagian hamba meninggalkan ibadah ini. Dalam hal ini, hukum meninggalkan shalat di waktunya berbeda-beda tergantung pada alasan atau keadaan yang melatarbelakanginya. Seseorang yang meninggalkan shalat tidak akan terlepas dari salah satu dari tiga keadaan berikut:

  • Keadaan Pertama: Meninggalkan Shalat karena Mengingkari dan Menolak Kewajibannya
  • Keadaan Kedua: Meninggalkan Shalat karena Lalai dan Malas
  • Keadaan Ketiga: Meninggalkan Shalat karena Uzur

Masing-masing dari ketiga keadaan tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Berikut penjelasannya menurut madzhab Syafi’i.

Keadaan Pertama: Meninggalkan Shalat karena Mengingkari dan Menolak Kewajibannya

Barang siapa yang telah memenuhi syarat wajib shalat yaitu seorang Muslim, berakal, telah baligh (dewasa), suci dari haid dan nifas (bagi perempuan), serta tinggal di negeri kaum Muslimin lalu ia meninggalkan shalat, menolak untuk melaksanakannya, dan mengingkari kewajibannya dengan sikap meremehkan, maka ia dihukumi kafir berdasarkan kesepakatan seluruh ulama. Hal ini disebabkan karena kewajiban shalat telah ditetapkan dengan dalil-dalil qath‘ī (قطعي) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta merupakan ajaran yang diketahui oleh setiap Muslim tanpa pengecualian. Oleh karena itu, shalat termasuk dalam perkara yang telah diketahui secara pasti dalam agama (مَعْلُومٌ مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ). Orang yang berada dalam kategori ini dianggap kafir karena telah mendustakan perintah Allah dan menolak ajaran serta teladan Rasulullah ﷺ. Bahkan, Rasulullah ﷺ mewasiatkan kepada umat Islam agar menjaga shalat, khususnya pada saat-saat terakhir menjelang wafat beliau.

Adapun hukum bagi orang yang meninggalkan shalat dalam keadaan seperti ini adalah bahwa ia ditangkap oleh hakim, kemudian diperintahkan untuk bertaubat kepada Allah, melaksanakan shalat, dan berkomitmen menjaga kewajibannya. Jika ia menerima perintah tersebut dan bertaubat, maka tobatnya diterima. Namun jika ia menolak, maka ia dihukum mati sebagai orang kafir, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.” (Shahihul Bukhari 3854)

Jika ia meninggal dalam keadaan tersebut, maka ia tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum Muslimin, karena ia tidak lagi termasuk dalam golongan mereka.

Adapun orang yang mengingkari kewajiban shalat dalam keadaan tidak mengetahui hukumnya karena baru masuk Islam atau berada dalam kondisi serupa, maka ia dikecualikan dari ketentuan hukum dikafirkan ini.

Keadaan Kedua: Meninggalkan Shalat karena Lalai dan Malas

Keadaan kedua adalah seseorang meninggalkan shalat karena lalai dan malas, namun tetap meyakini kewajibannya. Orang seperti ini tidak dihukumi kafir, tetapi telah melakukan dosa besar.

Dalam kasus ini, hakim (penguasa) akan memerintahkannya untuk segera melaksanakan shalat dan mengqodho shalat-shalat yang telah ditinggalkan, serta bertaubat dari kemaksiatan tersebut. Jika ia mau bertaubat, maka itu adalah hal yang sangat baik. Namun, apabila ia menolak bertaubat dan terus-menerus meninggalkan shalat, maka ia dikenai hukuman mati oleh hakim. Hukuman ini bukan karena ia dianggap kafir, tetapi sebagai bentuk hukuman had atas kemaksiatan besar yang dilakukannya.

Sebelum hukuman mati dilaksanakan, orang tersebut terlebih dahulu diminta untuk bertaubat. Jika tetap menolak, barulah hukuman dijatuhkan. Setelah eksekusi, jenazahnya tetap dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Harta peninggalannya tetap diwariskan kepada ahli warisnya sebagaimana ketentuan syariat.

Dasar dari hukuman ini adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ، حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَٰلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ، إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, maka darah dan harta mereka menjadi haram (tidak boleh ditumpahkan), kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka di tangan Allah.” (Shahih al-Bukhari 25 dan Shahih Muslim 22)

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang muslim tetap dapat diperangi jika meninggalkan shalat, meskipun ia telah mengucapkan syahadat. Namun, selama ia tidak mengingkari kewajiban shalat, ia tidak dihukumi kafir. Hal ini dipertegas oleh hadits dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا ٱسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ ٱللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ ٱلْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ، فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ ٱللَّهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ أدْخِلَه الجنة

“Lima shalat telah diwajibkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang menjaga pelaksanaannya dan tidak meremehkan sedikit pun dari hak-haknya, maka dia memiliki perjanjian dengan Allah untuk dimasukkan ke dalam surga. Dan barang siapa yang tidak menjaganya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah; jika Allah menghendaki, Dia akan mengazabnya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan memasukkannya ke dalam surga.” (Sunan Abu Dawud 1420, Sunan An Nasa-i 461, Sunan Ibnu Majah 1401, Imam An Nawawi menyatakan bahwa hadits ini shahih di Al Majmu’ 3/516)

Sementara itu, hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berikut ini:

إنّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشرك والْكُفْرِ تَرْك الصَّلَاةِ

“(Pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim 82)

dipahami sebagai ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat dalam keadaan menentang, mengingkari, meremehkan, atau bahkan mengolok-olok kewajiban shalat. Dalam kondisi seperti itu, barulah seseorang dihukumi kafir.

Keadaan Ketiga: Meninggalkan Shalat karena Uzur

Keadaan ketiga yang menyebabkan seseorang meninggalkan shalat adalah karena adanya uzur syar’i di luar kehendaknya, seperti sakit, lupa, tertidur, pingsan, gila, atau kondisi serupa lainnya. Dalam situasi seperti ini, orang tersebut tidak berdosa. Namun, ia tetap wajib mengganti (mengqodho) shalat yang tertinggal tersebut.

Pelaksanaan qodho shalat ini bersifat muwassa’, artinya bisa dilakukan kapan saja, selama tidak disertai sikap meremehkan atau menunda-nunda secara sengaja. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَن نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذلكَ

“Barang siapa yang lupa dari suatu shalat, maka hendaklah ia melaksanakannya ketika ia ingat. Tidak ada kafarah baginya selain itu.” (Shahih Muslim 684)

Berikut ini adalah penjelasan beberapa jenis uzur yang menjadikan seseorang tidak berdosa jika tidak melaksanakan shalat pada waktunya:

  1. Tidur

Yang dimaksud dengan uzur tidur adalah:

  • Tidur sebelum masuk waktu shalat, tanpa pengecualian.
  • Tidur setelah masuk waktu shalat, namun dengan dugaan kuat bahwa ia akan bangun sebelum waktu shalat habis atau setelah ia berwasiat kepada seseorang yang terpercaya untuk membangunkannya sebelum waktu shalat berakhir.
  1. Lupa

Lupa dianggap sebagai uzur syar’i jika tidak disebabkan oleh perbuatan haram (misalnya mabuk akibat konsumsi minuman keras) atau perbuatan makruh (seperti bermain catur). Contoh lupa yang menjadi udzur adalah seseorang sedang membaca buku yang bermanfaat atau sedang sibuk dengan pekerjaan yang mubah (diperbolehkan secara syariat).

  1. Menjamak Shalat karena Uzur

Meninggalkan shalat di suatu waktu dan mengakhirkannya di waktu shalat setelahnya diperbolehkan dalam alasan menjamak, seperti karena rukhshah tertentu, misalnya sakit (berdasarkan pendapat pilihan Imam An-Nawawi) atau safar. Dalam kondisi ini, menjamak shalat bukan berarti meninggalkannya, namun menyengaja memindahkan waktu pelaksanaannya dengan alasan yang dibenarkan.

  1. Paksaan

Orang yang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang menafikan shalat (sesuatu yang membatalkan shalat), maka ia tidak berdosa jika tidak bisa melaksanakannya pada waktunya. Namun, jika masih memungkinkan untuk melaksanakan shalat dengan isyarat (seperti menggunakan kepala atau mata), maka ia tetap wajib melaksanakannya tepat waktu dalam rangka menghormati waktu shalat. Setelah itu, ia tetap diperintahkan untuk mengulangi shalat tersebut.

Sumber:
Fiqh as-Sunnah ‘ala al-Mazhab asy-Syafi’i, hal. 204–207.
Al-Bayān wa at-Taʿrīf bi Maʿānī wa Masāʾil wa Aḥkām al-Mukhtaṣar al-Laṭīf, hal. 167

Disadur oleh:
Adid Adep Dwiatmoko
Santri Mahad Darussalam Asy Syafii Angkatan 4
Murajaáh: Ustadz Abu Husain Agus Waluyo hafizhahullah.

—–

Jangan sampai terlewat info majelis ilmu, kelas dan faedah-faedah dari Mahad Darussalam Asy Syafi’i Yogyakarta, yuk segera follow dan pantau semua channel kami di bawah ini!

Web: darussalam.or.id
FB: fb.me/darussalam.or.id
IG: instagram.com/darussalam.or.id
YT: youtube.com/mahaddarussalam
WA: chat.whatsapp.com/F5udYkGAB10KWmOTfbbI4h

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *