Setelah Al Imam Asy syafi’i Rahimahullah menulis kitabnya Ar risalah, maka para aimmah bangkit menulis kitab-kitab ushũl mengikuti apa yang telah di tulis oleh Al Imam asy syafi’i tentunya dengan metode yang semakin baik dan pembahasan-pembahasan yang disusun dengan semakin rapi dan lengkap. Para ulama yang menulis kitab ushũl al-fiqh dapat dibagi menjadi dua metode (thoriqoh) yaitu
Thoriqoh al fuqoha’ atau thoriqoh al hanafiyah.
Para ulama’ yang menulis kitab ushũl al-fiqh dengan thoriqoh ini mengistinbath kaidah-kaidah ushũliyyah dari furu’ (cabang/masãil) fiqhiyyah yang difatwakan oleh imam madzhabnya. Mereka menetapkan ushũl yang diyakini merupakan ushũl yang di pegang dan diaplikasikan oleh imam mereka di dalam ijtihadãt dan fatãwa nya.
Keistimewaan metode ini adalah bahwa metode ini sifatnya berupa praktek dan penerapan langsung dari kaidah. Kekurangannya adalah rentan sekali dengan ta’ashshub madzhabiy karena memang ushũlnya dikeluarkan hanya semata-mata dari masãil fiqhiyyah yang dinukil dari fatãwa Imam madzhabnya.
Diantara kitab ushũl yang ditulis dengan metode ini:
- Al fushũl fil ushũl, karya Al imam Abu Bakar Ahmad bin Ali yang dikenal dengan julukan Al Imam Al Jashshosh (w. 370 H).
- Taqwimul Adillah, karya Al Imam Abu Zaid Abdullah Bin Umar Ad Dabuusi (w. 430 H)
- Ushũl As sarkhosi, karya Al Imam Abu Bakar Muhammad Bin Ahmad As Sarkhosi (w. 490 H).
Thoriqoh al mutakallimin atau thoriqoh asy syafi’iyyah.
Para ulama’ yang menulis dengan metode ini umumnya akan menetapkan kaidah-kaidah ushũliyyah dan cara-cara beristidlal dengan kaidah-kaidah tersebut melalui dalil-dalil ‘aqliyyah (logika) dan naqliyyah (penukilan) tanpa disertai dengan pembahasan furu’ fiqhiyyah. Jika ada disebutkan furu’ fiqhiyyah maka itu semata-mata sebagai contoh saja. Keistimewaan metode ini adalah kaidah-kaidah ushũliyyah yang dibangun lepas dari masalah-masalah furu’ dan umumnya jauh dari ta’ashshub madzhabiy..
Diantara kitab ushũl al-fiqh yang ditulis dengan metode ini:
- Al mu’tamad, karya Al Imam Abul Husain Al Bashri Al Mu’tazili (w. 436 H)
- Al Burhan, karya Al Imam Al Haromain Al Juwaini Asy syafi’I (w. 468 H)
- Al Mustashfa, karya Al Imam Abu Hamid Al Ghazãli (w. 505 H)
- Al Wãdhih fi Ushũlil fiqh, karya Al Imam Abul Wafa’ bin ‘uqail Al Hambali (w. 513 H)
- Al Mahshũl, karya Al Imam Fakhruddin Ar Raazi (w. 606 H).
- Al Ihkãm fi Ushũlil ahkãm, karya Al Imam Saifuddīn Al Ãmidi (w. 631 H).
setelah mengetahui metode penulisan, lantas faidah apa yang akan di dapatkan dari mempelajari ilmu ushũl al fiqh yang disebutkan oleh para ulama, diantaranya [1]:
- Seseorang dapat memahami kitabullah dan hadits-hadits Rasulullah. Karena pemahaman yang benar akan keduanya hanya di peroleh jika melalui kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dan aimmah agama ini sejak zaman salafus sholih.
- Seseorang akan mendapati bahwa di dalam syariat ini tidak ada pertentangan. Mungkin awalnya, ia akan mendapati adanya pertentangan, namun bila ia memahami dengan baik kaidah-kaidah ta’arudh (pertentangan) dan tarjih maka akan tampak bahwa tidak ada pertentangan antara dalil-dalil yang ada, sehingga hilanglah kesamaran dan keraguan.
- Memahami ucapan para ulama dan mengetahui maksud mereka yang mana sering kali mereka menggunakan mustholahaat (terminologi) yang sangat khusus dalam ilmu fiqh maupun ushū Terminologi yang khusus ini tidak akan dapat dipahami dengan baik kecuali bagi orang yang telah mempelajari ilmu fiqh dan ushũlnya.
- Memahami hukum-hukum permasalahan-permasalahan kontemporer (nawaazil). Setiap tempat dan masa akan selalu muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai di zaman sebelumnya apalagi di zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk menerapkan dalil-dalil syar’i dalam permasalahan-permasalahan yang baru ini. Hal ini tentunya tidak mungkin bisa dilakukan melainkan jika seseorang benar-benar memahami kaidah-kaidah ushũl al fiqh dan penerapannya.
- Menyadari bahwa dengan ilmu inilah seorang baru bisa mencapai derajat mujtahid. Adalah kemustahilan, ada seorang mujtahid di setiap masa yang tidak menguasai dengan baik ilmu ushũl al fiqh. Disamping itu seseorang akan menyadari bahwa ijtihadaat dan ikhtilafaat para ulama’ itu bukan dibangun di atas “omong kosong” tapi benar-benar dibangun di atas dasar-dasar ilmiah, yang sangat bisa jadi berbeda antara satu ulama dari ulama lainnya sesuai latar belakang menuntut ilmunya dan madzhab fiqh yang diikutinya.
- Menyadari akan kadar diri dan kedudukan diri sendiri. Apakah ia termasuk seorang yang berhak berijtihad yang memang bisa mengambil hukum-hukum dari dalil-dalil secara langsung, ataukah ia hanya seorang awam yang tugasnya bertanya dan taqlid kepada para alim ulama’?
Setelah kita menyadari dan mengetahui akan faidah ilmu ini, maka bagaimana hukum mempelajari ilmu ushũl al fiqh ini? Para ulama’ mengatakan bahwa hukum belajar ilmu ushũl al fiqh adalah fardlu kifayah karena ilmu ini wajib atas sebagian dari kaum muslimin yang mampu untuk berijtihad dalam ilmu syar’i dan berfatwa dalam permasalahan-permasalahan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Oleh karenanya, para ulama’ yang diberi tanggung jawab sebagai qodhi dan mufti wajib atas mereka untuk mempelajari ilmu ini sehingga mereka mampu untuk sampai kepada kebenaran dengan dalil-dalilnya dan mengetahui bagaimana merojihkan perkataan antar ulama jika mereka berselisih.
[1] Syarh Al waroqoot lisy syaikh Sa’ad Ibn Nashir Asy syitsri : 11-13
Farid Fadhillah
Riyadh, 22/09/1441 H