Faedah Fiqih Syafi’i dars Umdatus Salik (5B)
Hal-hal yang diwajibkan bagi orang yang buang hajat:
1. Wajib bagi orang yang buang hajat untuk beristinja (membersihkan/mengangkat) dari segala sesuatu yang mengotori (kondisinya basah) dan ada fisiknya, yang keluar dari dua jalan (dubur dan qubul).
Yang tidak termasuk kategori mengotori adalah
– angin,
– cacing,
– kerikil,
– kotoran kering tanpa basah-basah (sehingga tidak ada perpindahan dzat najis karena tidak ada unsur basah).
[Istinja dengan batu = Istijmar]
Ber-istinja sah dan mencukupi dengan menggunakan batu, walaupun untuk sesuatu yg jarang, misalnya darah yang keluar. Karena yang menjadi patokan adalah tempat keluarnya, bukan sesuatu yang keluar. Kemudian, yang lebih utama adalah disusul dengan menggunakan air setelah batu. Hal ini berdasarkan firman Allah,
فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ
“Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At Taubah: 108). Keterangan yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ánhu bahwasannya ayat tersebut turun terkait dengan dengan penduduk Quba, dimana mereke beristinja dengan menggunakan air setelah menggunakan batu. (HR. Abu Dawud 44, At Tirmidzi 3099, Ibnu Majah 357).
Imam Al Imrithi menyebutkan dalam Nihayatut Tadrib,
والجمع أولى وليقدم الحجر والماء أولى وحده إن اقتصر
“Dan menggabungkan (istinja dengan batu dan air) adalah lebih utama, dengan cara mendahulukan penggunaan batu (kemudian air setelahnya). Dan menggunakan air saja lebih utama, jika tidak bisa menggabungkan keduanya.”
[Syarat-syarat batu syarí untuk istinja]
Syarat-syarat batu atau yang disamakan dengan batu (secara syarí) yang bisa dipergunakan untuk beristinja adalah sebagai berikut.
(1) Segala sesuatu yang padat dan kering
(2) Suci
(3) Memiliki kemampuan untuk mengangkat najis. Sehingga benda yang licin, seperti kaca atau plastik tidak bisa dipergunakan karena tidak bisa mengangkat najis.
(4) Bukan merupakan sesuatu yang dimuliakan, seperti kitab-kitab ilmu agama
(5) Bukan merupakan makanan, baik untuk manusia (seperti roti) atau untuk jin (seperti tulang). Berdasarkan hadits dari Ibnu Masúd radhiyallaahu ánhu,
وَلَا يَسْتَنْجُوا بِالْعَظمِ وَالبَعرَةِ ، فَإِنَّهَا طَعَامُ إِخْوَانِكُمْ
“Janganlah kalian beristinja dengan tulang dan kotoran hewan, karena sesungguhnya keduanya adalah makanan saudara kalian (yakni jin).” (HR. Muslim 450).
Contoh benda selain batu yang dibolehkan untuk beristinja adalah kulit hewan yang disembelih secara syarí sebelum disamak. Adapun kulit bangkai hewan tidak sah digunakan untuk beristinja, kecuali setelah disamak (agar kulit tersebut menjadi suci) terlebih dahulu.
[Hal-hal yang tidak membolehkan istinja dengan batu syarí]
Ada beberapa kondisi yang menjadikan tidak sahnya istinja dengan batu, dan wajib menggunakan air untuk istinja, yakni sebagai berikut.
(1) menggunakan cairan selain air untuk istinja,
(2) menggunakan benda najis untuk istinja,
(3) kotoran yang keluar terkena/tercampur najis ajnabi (najis lain/eksternal, baik yang sejenis atau tidak) atau bahkan terkena/tercampur benda suci,
(4) kotoran berpindah dari tempat berhenti pertama kali,
(5) kotoran sudah kering,
(6) kotoran menyebar saat keluarnya dan melewati area alyah (bagian dekat lubang dubur yang menutup saat seseorang berdiri) atau kepala dzakar. Jika tidak melewati kedua area tersebut, maka boleh menggunakan batu.
2. Wajib untuk menghilangkan fisik kotoran/najis saat istinja.
[Tata cara membersihkan fisik kotoran dengan batu]
(a) Wajib memenuhi/melakukan dengan 3 (tiga) usapan, meskipun kotoran sudah bersih tanpa usapan tersebut.
(b) Usapan tersebut bisa dilakukan dengan tiga (3) batu yang berbeda atau satu (1) batu dengan tiga (3) sisi. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallaahu ánhaa,
إذا ذهَبَ أحَدُكم إلى الغائطِ فلْيَذهَبْ معه بثلاثةِ أحجارٍ يَستطيبُ بهنَّ، فإنَّها تجزئُ عنه
“Jika salah seorang dari kalian hendak buang hajat, hendaknya dia membawa tiga (3) batu untuk membersihkan kotoran. Karena batu-batu tersebut mencukupi.” (HR. Abu Dawud 40).
Serta hadits dari Salman Al Farisi radhiyallaahu ánhu,
لا يَسْتَنْجِ أحدُكم بدونِ ثلاثةِ أحجارٍ
“Janganlah salah seorang dari kalian beristinja menggunakan batu yang kurang dari 3 (tiga) buah.” (HR. Muslim 262)
(c) Jika kotoran belum hilang dengan tiga (3) usapan, maka wajib menambah usapan hingga bersih.
(d) Disunnahkan untuk mengganjilkan jumlah usapan. Misalnya, kotoran sudah bersih dengan 4 usapan, maka disunnahkan untuk menambah 1 usapan lagi agar menjadi ganjil. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ánhu,
إذا استجمرَ أحدكم فليستجمِرْ وِتْرا
“Jika salah seorang dari kalian ber-istijmar (istinja dengan batu, yakni mengusap tempat), hendaknya dia melakukannya dengan bilangan ganjil.” (HR. Al Bukhari 61 dan Muslim 238).
(e) Disunnahkan untuk memulai usapan pertama dari bagian kanan shofhah (bagian dekat lubang dubur yang menutup saat seseorang berdiri) dilewatkan sampai kembali ke tempat memulainya. Usapan kedua adalah kebalikannya, yakni dimulai dari bagian kiri shofhah. Kemudian, usapan yang ketiga adalah kedua bagian shofhah dan lubang dubur. Setiap usapan harus mencakup seluruh area tersebut (Anwarul Masalik).
(f) Penulis Umdatus Salik wa Uddatun Nasik (Imam Ibnu An Naqib Al Mishri) menyebutkan wajibnya pertama kali memposisikan batu di area yang suci dekat dengan titik najis, kemudian baru digerakkan untuk mengusap kotoran. Namun, pendapat yang mu’tamad dalam madzhab adalah hukumnya sunnah (Fathul Ilah Malik – Qasim An Nuri).
[Beberapa permasalahan terkait istinja]
(i) Hukumnya makruh untuk beristinja dengan tangan kanan. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Qatadah radhiyallaahu ánhu,
إِذَا بَالَ أحَدُكُمْ فلا يَأْخُذَنَّ ذَكَرَهُ بيَمِينِهِ، ولَا يَسْتَنْجِي بيَمِينِهِ
“Jika salah seorang dari kalian buang air kecil, janganlah sekali-kali memegang dzakarnya dengan tangan kanannya, dan janganlah beristinja dengan tangan kanannya.” (HR. Al Bukhari 154 dan Muslim 267)
Bagaimana jika membutuhkan dua tangan kanan dalam istinja? Yang dianjurkan saat beristinja dengan batu adalah menggunakan tangan kanan untuk memegang batu dan menggunakan tangan kiri untuk memegang dzakar dan menggerakkan tangan kirinya agar terpenuhi kesunnahan beristinja dengan tangan kiri.
(ii) Yang lebih utama adalah mendahulukan istinja daripada wudhu. Namun, jika seseorang mengakhirkan istinja setelah wudhu, maka hal tersebut sah. Karena tidak dipersyaratkan untuk menghilangkan najis dulu sebelum berwudhu.
(iii) Tidak boleh mendahulukan tayammum sebelum istinja. Hal ini karena tayammum hanya membolehkan untuk shalat, bukan untuk mengangkat hadats. Dan tidak dibolehkan shalat bersamaan dengan adanya penghalang, yakni najis pada badan.
(iv) Disunnahkan untuk mendahulukan qubul (tempat keluarnya air kencing) dari dubur (tempat keluarnya berak) jika istinja menggunakan air, kebalikan dengan batu.
(v) Dimakruhkan untuk main-main dengan tangan atau menoleh atau berbicara (kecuali darurat) saat buang hajat
(vi) Tidak melihat ke kemaluannya, atau ke lubang duburnya atau ke arah langit ketika buang hajat
(vii) Dimakruhkan untuk buang air kecil di tempat wudhu atau mandi.
(viii) Menghindari berdzikir dan yang semisalnya menggunakan lisannya. Sehingga, jika seseorang bersin, hendaknya dia membaca hamdalah dengan hatinya.
Ditulis oleh Adid Adep Widiatmoko (santri Ma’had Darussalam)
Dimurojaah oleh Agus Abu Husain