Niat dan Urgensinya dalam Ibadah Puasa

Niat merupakan salah satu komponen terpenting dalam kehidupan seorang muslim. Dengan niat itu terbedakan mana amalan yang bernilai ibadah, mana amalan yang hanya sekedar adat kebiasaan semata. Dengan niat itu pula terbedakan mana amalan yang wajib, mana amalah yang sunnah. Dengan niat itu pula, amalan seseorang bisa diterima atau bahkan ditolak dan tidak bernilai sedikitpun dan bahkan menjerumuskan seserang kedalam perbuatan dosa syirik dan mendapatkan siksa yang abadi. Oleh karena urgensinya itulah maka para lama menempatkan hadits Umar ibnu-l khattāb radhiyallāhu ‘anhu sebagai salah satu poros dienul islam.

إنَّما الأعْمالُ بالنِّيّاتِ، وإنَّما لِكُلِّ امْرِئٍ ما نَوَى

Setiap amal itu sah tidaknya tergantung dengan niat, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan. (HR. Al Bukhāri: 1 dan Muslim: 1907)

Niat secara bahasa maksudnya adalah maksud, jika dikatakan نية الصيام  maknanya adalah bermaksud untuk berpuasa. Niat ini tempatnya di hati dan tidak cukup sekedar di lisan saja. Memang tidak dipersyaratkan untuk melafalkannya, namun di anjurkan untuk melafalkannya bersamaan dengan melintaskannya di hati dengan tujuan untuk memantapkan apa yang terlintas di hatinya. Dan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan pelafalan niat ini sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallāhu ta’āla ‘anha:

 قالَ لي رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: ذَاتَ يَومٍ يا عَائِشَةُ، هلْ عِنْدَكُمْ شيءٌ؟ قالَتْ: فَقُلتُ: يا رَسولَ اللهِ، ما عِنْدَنَا شيءٌ قالَ: فإنِّي صَائِمٌ

“Rasulullah sallallāhu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku pada suatu hari: “Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan)?”. Aku berkata: “ Ya Rasulallāh, kita tidak memiliki sesuatu apapun.” Maka Rasulullāh berkata:” Kalau begitu aku berpuasa”. (HR. Muslim: 1154)

Berdasarkan hadits ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu di atas maka niat dalam ibadah puasa ini hukumnya wajib dan tidak sah puasa seseorang yang tidak berniat berpuasa dari malam. Dianggap sah pula niat puasa seseorang jika misalnya ia sahur dengan tujuan untuk berpuasa, atau minum ketika sahur dengan tujuan untuk menahan rasa haus di siang hari atau bahkan menahan diri dari makan, minum dan bersenggama karena takut jika matahari telah terbit (waktu awal puasa) dengan syarat hadir di benaknya bahwa hal-hal tersebut dilakukan dalam rangka puasa romadhon sesuai dengan sifat-sifatnya [1].

Ada tiga hal yang dipersyaratkan untuk dihadirkan di dalam hati ketika seseorang berniat puasa yang wajib seperti puasa romadhon, puasa qodlo’ romadhon, puasa nadzar, atau puasa kararoh [2] yaitu:

  1. Al qoshd. Seorang berniat untuk melakukan puasa
  2. At ta’yin. Seseorang menentukan puasa apa yang ia akan kerjakan, misalnya puasa ramadhan, puasa qodlo’ romadhon, atau puasa kafaroh dan lain lain.
  3. Al fardhiyyah. Seseorang meniatkannya untuk menunaikan kewajiban.

Adapun untuk puasa sunnah maka hanya al qoshd dan at ta’yin saja yang dipersyaratkan. Berangkat dari ini, para ulama syāfi’iyyah mencontohkan niat puasa romadhon yang dianggap cukup misalnya dengan lafadz [3]:

نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان

Saya niat puasa besok untuk menunaikan fardlunya puasa ramadhan.

Namun demikian, yang ashoh untuk puasa romadhon adalah tidak dipersyaratkan mengucapkan atau menampakkan fardliyahnya karena puasa romadhon yang dilakukan oleh seorang yang telah baligh tidak ada kemungkinan lain kecuali wajib/fardlu. Jadi, sekiranya seseorang mengucapkan saya niat puasa romadhon besok maka itu sudah mencakup tiga hal yang dipersyaratkan di atas [4]. Berbeda hal nya dengan sholat misalnya. Jika seseorang yang telah baligh berniat saya sholat dhuhur, maka ini tidak cukup karena bisa jadi seseorang sholat dhuhur tapi sholat dhuhur yang bernilai sunnah seperti sholat dhuhur untuk yang kedua kalinya bersama jamaah lainnya.

Hal kedua yang dipersyaratkan dalam niat puasa wajib adalah at tabyit yaitu meniatkan nya sejak malam yaitu dari sejak mulai terbenamnya matahari hingga terbit fajar. Jika seseorang berniat puasa romadhon esok hari , walau sesaat sebelum terbenam matahari atau sesaat setelah terbit fajar maka tidak sah puasanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Hafshoh bint ‘Umar radliyallāhu ta’āla ‘anhuma:

مَن لم يُجْمِعِ الصيامَ قبلَ الفجرِ ، فلا صيامَ له

Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya (HR. Abū dāwud : 2454, At tirmidzy: 730, Ad dāruqutni : 2/379)

Demikian juga yang telah di-nash kan oleh Al Imam Asy syāfi’i:

قال الشافعي رضي الله عنه:  ٌقال بعض أصحابنا: لا يجزي صوم رمضان إلا بنية”…..واحتج فيه بأن ابن عمر رضي الله عنهما قال:” لا يصوم إلا من أجمع الصيام قبل الفجر”…..فكان هذا والله أعلم على شهر رمضان خاصة, و على ما أوجب المرء على نفسه من نذر, أو وجب عليه من صوم. فأما التطوع فلا بأس أن ينوي الصوم قبل الزوال ما لم يأكل و لم يشرب

Berkata Al Imam Asy syāfi’i : “berkata sebagian sahabat kami, tidak sah puasa romadhon kecuali dengan niat…dan mereka berhujjah dengan perkataan Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma : “tidak (sah) puasa kecuali bagi yang berniat sebelum fajar….” Hal ini wallahua’lam berlaku khusus untuk puasa romadhon, dan untuk puasa yang diwajibkan oleh seseorang atas dirinya sendiri seperti nadzar, atau puasa lain yang wajib atasnya. Adapun puasa sunnah maka tidak mengapa seseorang berniat sebelum matahari tergelincir selama ia tidak makan dan tidak minum (Al umm: 2/104).

Jika seseorang berniat puasa dari malam, kemudian ia makan atau minum atau bersenggama setelahnya maka hal ini tidak membatalkan niatnya sama sekali karena Allah membolehkan hal tersebut hingga terbit fajar. Demikian juga jika ia telah berniat puasa dari malam kemudian ia tertidur hingga menjelang fajar maka hal ini juga tidak membatalkan niatnya. Bahkan seandainya ia terus tidur hingga terbit fajar, maka hal itu tidak memudhorotkan sama sekali atau dengan kata lain sah puasanya.

Adapun puasa sunnah, tidak dipersyaratkan at tabyit. Boleh berniat di waktu siangnya selama matahari belum tergelincir dan terpenuhi  syarat-syarat puasa seperti tidak makan, minum atau bersenggama sejak awal hari yakni terbit fajar. Dalilnya adalah hadits Āisyah yang telah di sebutkan di atas.

Hal lain yang juga penting terkait niat ini adalah dipersyaratkan at takror yaitu mengulangi niat puasa untuk hari berikutnya di setiap malam. Hal ini karena puasa pada tiap-tiap hari itu adalah ibadah yang berdiri sendiri. Oleh karenanya jika rusak puasa seseorang pada satu hari tertentu maka tidak merusak keseluruhan puasanya. Jika seseorang berniat puasa pada malam pertama untuk satu bulan penuh maka niatnya ini tidak sah kecuali hanya untuk hari pertama saja.

Allāhu a’lam bi-sh showab

Ditulis oleh Farid Fadhillah

Riyadh, 8 ramadhan 1440 H

 

[1] I’ānatut thōlibīn: 2/371 , al mu’tamad : 2/173

[2] Liyatafaqqohuu fid din : 213

[3] I’ānatut thōlibīn: 2/377

[4] I’ānatut thōlibīn : 2/376 , al mu’tamad :186

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *