Ushul Fiqh: Kandungan dan Faidahnya

Allah subhanahu wa ta’ala sungguh telah mengaruniakan kepada kita dua karunia yang teramat besar yaitu dengan diutusnya Nabi yang mulia, Nabiullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dan yang kedua yaitu dengan diturunkannya al-qur’an al karim. Sebuah kitab yang sangat agung, yang merupakan kalamullah ‘azza wa jalla, yang mengandung seluruh kebaikan dunia dan akhirat. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تركتُ فيكم أيُّها الناس، ما إنِ اعتصمتم به، فلن تضلُّوا أبدًا: كتاب الله، وسُنَّة نبيِّه

Kutinggalkan pada kalian wahai manusia, apa yang jika kalian berpegang teguh padanya maka tidak akan tersesat selamanya: kitabullah dan sunnah nabi-Nya. (H.R. Al baihaqi dalam dalailun nubuwwah : 5/449, dishohihkan oleh Al Albani dalam shohih at targhib)

Oleh karena itu, sejak awal dienul islam ini tumbuh, para ulama’ dari kalangan sahabat, para aimmatus salaf dan para ulama’ dari zaman ke zaman menaruh perhatian yang sangat besar kepada kedua sumber pokok hukum islam ini yaitu al qur’an dan as sunnah an nabawiyyah. Perhatian mereka bukan hanya sekedar menjadikan kedua pokok ini untuk di hafal atau dibaca saja bahkan mereka berusaha keras untuk memahami dan merenungkan faidah-faidah apa dibalik keduanya. Faidah-faidah ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan pemahaman yang benar terhadap al-qur’an dan as sunnah. Bertolak dari inilah para ulama’ merumuskan kaidah-kaidah baku yang dipakai untuk mengeluarkan hukum (istinbath) baik dari al qur’an maupun as sunnah. Kaidah-kaidah istinbath inilah yang menjadi salah satu pokok bahasan penting sebuah cabang ilmu islam yang sangat agung yaitu ilmu ushul fiqh.

Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dengannya seseorang dapat mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syar’iyyah. Ilmu ushul fiqh terdiri dari empat bagian utama:

  1. Penggambaran hukum-hukum islam secara universal seperti apakah itu wajib, mandub, mubah, makruh, harom, shohih, faasid dll.
  2. Dalil dan berdalil (istidlal) yaitu meliputi hal-hal yang boleh dijadikan dalil, syarat-syaratnya, cara atau metode berdalil. Sebagai contoh jika datang seseorang kepada kita berdalil dengan mimpi atau kisah-kisah atau yang semisalnya apakah boleh berdalil dengannya?
  3. Kaidah-kaidah istinbath yaitu meliputi bagaimana kita memahami suatu kalimat. Masuk kedalam bagian ini pembahasan hakikat dan majaz, umum dan khusus, mutlaq dan muqoyyad, dll. Seperti lafadz an-naas (manusia) pada sebagian ayat, apakah yang dimaksud adalah seluruh manusia ataukah yang dimaksud adalah sebagian manusia saja?
  4. Ijtihad dan taklid yaitu meliputi pembahasan siapa yang berhak untuk berijtihad, apa yang harus dilakukan bagi orang-orang yang tidak berhak untuk berijtihad. Siapa ‘alim yang berhak untuk ditaqlidi, bagaimana mengambil pendapat-pendapatnya dll.

Diantara faidah-faidah yang bisa di dapatkan dari mempelajari ilmu ushul fiqh:

  1. Memahami kitabullah azza wa jalla dan sunnah-sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Memahami bahwa syari’at ini tidak ada pertentangan satu sama lain, karena kadang-kadang seseorang mendapati sebagian nash itu seakan-akan bertentangan satu sama lainnya. Namun dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah tarjih dan ta’arudh antara nash-nash yang seakan-akan bertentangan tersebut maka akan tampak bahwa nash-nash itu tidak bertentangan satu sama lain.
  3. Memahami perkataan dan maksud dari para ulama’ dengan baik. Yang demikian ini karena para ulama’ banyak sekali menggunakan istilah-istilah yang tidak akan dapat diketahui maknanya dengan benar kecuali setelah mempelajari ilmu ushul fiqh.
  4. Memahami perkataan dan maksud dari ucapan manusia, klaim-klaim dan wasiat-wasiat mereka.
  5. Mengetahui hukum-hukum masalah-masalah kontemporer (nawazil).
  6. Menggapai derajat mujtahid
  7. Mengetahui bahwa ikhtilaf diantara para ulama’ itu bukan didasarkan pada sesuatu yang kosong atau mengada-ada tetapi benar-benar hal itu didasari atas kaidah-kaidah baku yang mereka gunakan.
  8. Menyadari akan kadar dirinya sendiri, apakah ia termasuk orang yang pantas untuk berijtiihad, yang bisa mengeluarkan hukum dari dalil-dalil secara langsung, ataukah ia adalah seorang muqollid yang kewajibannya adalah bertanya kepada ulama’. Mengetahui kepada siapa ia harus bertanya dalam permasalahan-permasalahan agama ini, dan ketika terjadi perselisihan antara ulama’, ia tahu apa yang harus dilakukan.

Allahua’lam bish showab

Diringkas oleh Farid Fadhillah dari dars Syaikhuna, Ma’ali Asy syaikh Saad Ibn Nashir Asy syitsri hafidhohullah atas al waroqot fi ushulil fiqh

Riyadh, 11 ramadhan 1440 H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *