Serial Fawaid dars ke-1 Fathul Mu’in
Tema : Muqoddimah Madkhal Ilaa Madzhab Imaam As-Syaafi’i
Hal 11-18 (tahqiq Syaikh Majid Hamawi, Daar Ibn Hazm)
Al Madkhal ilaa madzhab Imam Syafii
Ulama fikih yang masyhur ada empat orang, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As Syafií dan Imam Ahmad. Keempatnya mendasari terbentuknya empat madrasah fikih, yang dinamai madzhab, yang sampai dengan saat ini masik eksis. Kebenaran tidak terbatas pada salah satu madzhab tersebut, bahkan kebenaran tersebar pada keempat madzhab tersebut semuanya, dan tidak dibolehkan keluar dari madzhab-madzhab tersebut.
Pendiri madzhab As Syafií adalah Muhammad bin Idris As Syafií, yang dilahirkan di kota Ghaza pada tahun 150 H. Pada usia 2 tahun, beliau dibawa ke Mekkah dan tumbuh di sana. Kemudian, beliau melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu ke Imam Malik di Madinah dan bermulazamah dengan beliau selama beberapa rentang waktu. Lalu, beliau pindah ke Baghdad pada tahun 195 H, dan tinggal di sana selama 2 tahun dan mengambil ilmu dari Muhammad bin Al Hasan, murid dari Imam Abu Hanifah. Pada periode ini, beliau menulis kitab beliau yang terdahulu. Kemudian, beliau kembali ke Mekkah, kemudian kembali lagi ke Baghdad, lalu pindah ke Mesir, dan tinggal di sana hingga beliau wafat pada tahun 204 H.
Imam As Syafií memiliki madzhab yang awal, yang beliau tulis di kitab beliau Al Hujjah. Kemudian, beliau menulis kitab lagi, Al Umm, saat beliau di Mesir. Beliau-lah yang pertama kali menulis kitab fikih. Beliau juga menulis kita Ar Risalah dalam bidang ushul fikih, dimana beliau adalah orang pertama yang menyusun pondasi ilmu ushul fikih ini.
Imam As Syafií menguasai bahasa Arab, baik nahwu maupun sharaf. Beliau juga menghafal 10 ribu bait syair Hudzail dengan i’rab dan maknanya. Beliau juga sangat memahami dalam dialek bahasa Arab. Sehingga, beliau tidak tertimpa kekeliruan dalam nahwu atau segi bahasa, sebagaimana menimpa kepada selain beliau. Perkataan beliau menjadi hujjah bagi bahasa, sebagaimana seorang penyair dengan bait-bait syairnya.
Keistimewaan Madzhab Imam As Syafií
Terdapat dua madrasah fikih yang saling bertentangan, yakni madrasah raýu di Iraq (Imam Abu Hanifah dan murid-murid beliau), dan madrasah hadits di Hijaz (Imam Malik dan murid-murid beliau). Imam As Syafií muncul, dalam keadaan menimba ilmu langsung dari ulama-ulama Hijaz, seperti Imam Malik dan ulama-ulama Iraq, seperti Muhammad bin Al Hasan, murid dari Imam Abu Hanifah. Beliau memadukan ilmu dari ulama ahli atsar (hadits) dan ilmu ahli ra’yi. Beliau menghindari dari sisi luar ulama hadits yang bergantung pada zhahir nash, dan menghindar dari penghukuman akal dari ahlur ra’yu. Yang terpengaruh dengan metode beliau dari kalangan ahli hadits adalah Imam Ahmad, sebagaimana Imam Ahmad berkata, “Setiap permasalahan yang aku tidak memiliki dalil dalam hal tersebut, maka aku berpendapat sebagaimana pendapat As Syafií).
Adapun yang terpengaruh dengan metode beliau dari kalangan ahlur ra’yi adalah Abu Tsaur Ibrahum bin Khalid Al Kalbi, yang meninggal pada tahun 240 H, dimana beliau ruju’ (kembali) dari mengedepankan rakyu kepada hadits.
Madzhab As Syafií memiliki keistimewaan terkait besarnya sumbangsih terhadap ilmu, dimana banyaknya para ulama madzhab Syafii yang saling berdatangan memberikan perhatian terhadap madzhab dengan menukil, meneliti, menyusun, dan mengkodifikasikan. Di antara para ulama tersebut adalah Al Baihaqi, dimana beliau memberikan banyak sekali sumbangsih dalam hal tersebut. Sampai-sampai dikatakan oleh Imam Al Juwaini, “Imam As Syafií memiliki jasa atas setiap orang yang menisbatkan pada madzhab Syafií, kecuali Al Baihaqi. Karena Al Baihaqi banyak berjasa terhadap madzhab As Syafií.” Al Baihaqi menulis kitab As Sunan Al Kubra, yang mengumpulkan dalil-dalil dalam madzhab As Syafií.
Di antara keistimewaan madzhab As Syafií adalah banyak dijumpai kitab-kitab Syafiíyyah yang memiliki kemudahan susunannya, jelasnya bab-babnya, terangnya ungkapan-ungkapannya, serta adanya penjelasan pendapat yang mu’tamad (dipegang) dalam madzhab, sehingga memungkinkan untuk dipahami dengan mudah. Ini tidak dijumpai di madzhab lainnya.
Periode Madzhab Syafií
Periode Iraqiyyah (Madzhab Qadim/Awal)
Pada periode ini, fatwa-fatwa beliau umumnya sesuai dengan madzhab ahli hadits, karena terpengaruh dengan madzhabnya Imam Malik.
Periode Mishriyyah (Madzhab Jadid/Baru)
Pada periode ini, beliau meneliti kembali ushul fikih beliau yang awal, dan menarik kembali pendapat lama beliau, seperti berdalil dengan amalan sahabat (sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik). Beliau juga meneliti kembali fatwa-fatwa beliau dan beliau menarik kembali sebagian besar fatwa-fatwa beliau.
Madzhab As Syafií menyebar di Mesir dan negeri Syam, dan sangat meluas sehingga menyaingi madzhab Hanafi di negeri Iraq. Dan terus menyebar sampai ke negeri Hindi dan negeri-negeri Arab.
Pilar-pilar Fatwa dalam Madzhab Syafií
Pendapat-pendapat yang disepakati oleh As Syaikhaan (Ar Rafií dan An Nawawi), jika ulama belakangan tidak bersepakat bahwa pendapat tersebut salah atau keliru karena lupa.
Ar Rafií adalah Abul Qasim Abdul Karim bin Muhammad Al Qazuyani Ar Rafií (meninggal tahun 623 H). An Nawawi adalah Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An Nawawi (meninggal tahun 676 H).
Adapun kitab-kitab terdahulu sebelum As Syaikhaan, segala isinya tidak serta merta dijadikan pendapat mu’tamad madzhab, kecuali setelah diperiksa dan disaring terlebih dahulu, sehingga disangka kuat bahwa hal tersebut adalah pendapat madzhab.
Jika As Syaikhaan berselisih pendapat, maka didahulukan pendapat An Nawawi. Dan jika tulisan An Nawawi bertentangan dalam satu kitab dan kitab lainnya, maka didahulukan yang terakhir dibandingkan yang awal.
Maka, didahulukan At Tahqiq, kemudian Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab (Al Muhaddzab karya As Syirazi, wafat tahun 476 H), kemudian At Tanqih Syarah Al Wasith (Al Wasith karya Al Ghazali, wafat 505 H). Ketiga kitab ini belum diselesaikan oleh An Nawawi. Kemudian Ar Raudhah, ringkasan dari Fathul Aziz (Fathul Aziz karya Ar Rafií), kemudian Al Minhaj, ringkasan dari Al Muharrar karya Ar Rafií, kemudian Al Fatawa, kemudian Syarah Shahih Muslim, kemudian Tashihut Tanbih (At Tanbih karya As Syirazi), kemudian Nukatut Tanbih.
Ini adalah bukan acuan mutlak, dan sifatnya untuk pendekatan saja. Sebagai contoh, dijumpai para ulama yang belakangan mendahulukan pendapat Imam Nawawi dalam Al Minhaj dibandingkan kitab-kitab beliau lainnya.
Dan An Nawawi menyebutkan takhrij hadits dalam tulisan-tulisan beliau, apakah hadits ini shahih, atau hasan atau lemah. Ini tidak dilakukan oleh ulama sebelum beliau.
Jika As Syaikhan tidak menegaskan suatu pendapat dalam suatu permasalahan, maka diambil pendapat ulama mutaakhirin (yang belakangan).
Dan dari kalangan ulama tersebut, yang didahulukan antara lain:
1️⃣ Ibnu Hajar
Abul Ábbas Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al Haitami (wafat 973 H). Jika pendapat beliau saling bertentangan dalam kitab-kitab beliau, maka didahulukan yang terakhir ditulis dibandingkan yang terdahulu. Maka didahulukan Tuhfatul Muhtaj Syarah Al Minhaj (tercetak), kemudian Fathul Jawad Syarah Al Irsyad (Al Irsyad karya Ibnul Muqri, wafat 837 H, tercetak), kemudian Al Imdad Syarah Al Irsyad (tercetak), kemudian Syarah Al Muqaddimah (karya Bafadhal Al Hadrami, wafat 918 H, tercetak), kemudian Al Fatawa dan Syarah Al Íbab (Al Íbab karya Al Muzzajjad, wafat 930 H).
Ulama-ulama Hadhramaut,Syam, Akrad, Dagestan, dan kebanyakan Yaman dan Hijaz memegang pendapat Ibnu Hajar secara khusus di kitab beliau At Tuhfah karena mencakup nukilan nash-nash dari Imam As Syafií, diiringi dengan penelitian penulis tentangnya. Banyak sekali ulama muhaqqiq yang mengajarkanya, namun, ungkapan-ungkapan di dalam kitab tersebut sulit.
2️⃣ Muhammad Ar Ramli
Muhammad bin Ahmad Ar Ramli (wafat 1004 H), yang pendapat beliau berada di kitab Syarah Al Idhah (Al Idhah karya An Nawawi), kemudian Nihayatul Muhtaj Syarah Al Minhaj (Al Minhaj karya An Nawawi, tercetak).
Ulama Mesir berpegang pada pendapat-pendapat Ar Ramli secara khusus di An Nihayah. Kitab ini telah dibacakan di hadapan 400 ulama, dan mereka mengoreksi dan membenarkannya. Hawasyi (catatan kaki) yang ditulis oleh para ulama mutaakhirin umumnya menyepakati Ar Ramli. Ar Ramli menulis kitab An Nihayah dalam rentang waktu 10 tahun, dengan pemilihan ungkapan yang mudah.
Umar bin Hamid Bafaraj Al Hadhrami telam mengumpulkan perselisihan Ibnu Hajar dan Ar Ramli dalam kitab beliau Fathul Aliy bi Jamíl Khilaf baina Ibni Hajar wabni Ar Ramli, dan telah tercetak dengan bantuan Syifa Muhammad Hasan Hitu. Demikian pula Ali bin Ahmad Bashabirin (wafat 1307 H) melakukan hal yang sama dalam kitabnya Itsmad Al Áinain fi ba’dhi Ikhtilafis Syaikhain (tercetak).
Jika tidak ada mufti dari ahli tarjih dalam madzhab (sebagaimana saat ini), maka dibolehkan mengikuti fatwa Ibnu Hajar atau Ar Ramli, sesuai dengan yang dikehendaki.
3️⃣ Al Qadhi Zakaria
Zakaria bin Muhammad Al Anshari (wafat 926 H), dalam kitab beliau Syarah As Shaghir li Nazham Al Bahjah (Nazham al Bahjah karya Ibnu Wardi, wafat 749 H, tercetak). Kemudian Syarah Al Manhaj, ringkasan dari Al Minhaj (tercetak).
4️⃣ Al Khatib As Syirbini
Muhammad bin Ahmad (wafat 977 H), dalam kitab beliau Mughni Al Muhtaj fii Ma’rifati Al Minhaj (tercetak).
Kemudian Ashabul Hawasyi, yang umumnya menyepakati pendapat Ar Ramli, yakni dengan urutan sebagai berikut:
- Ali bin Yahya Az Ziyadi
- Ahmad bin Qasim Al Ábadi
- Ahmad Al Baralisi Al Muqlib
- Ali bin Ali As Syabaromalisi
- Ali bin Ibrahim Al Halabi
- Muhammad bin Ahmad As Syubari
- Muhammad bin Dawud Al Ínani
✍🏻 Adid Adep Dwiatmoko ( santri Ma’had Darussalam Yogyakarta )
Muraja’ah : Agus Abu Husain