(diterjemahkan secara bebas dari kitab Fathul Muín, tahqiq Majid Hamawi)
Definisi Jual Beli
Secara bahasa makna jual beli adalah pertukaran sesuatu. Adapun secara syari, maknanya adalah pertukaran harta dengan harta dengan cara yang tertentu.
Dalil tentang bolehnya Jual Beli
Ulama telah sepakat tentang kebolehan akad jual beli. Di antara dalil-dalil yang mendasari hal tersebut adalah firman Allah Taála
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli.” (Al Baqarah : 275)
Begitu pula hadits Rasulullaah shallaahu álaihi wa sallam
سُئل النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أيُّ الكسبِ أطيبُ قال عملُ الرَّجلِ بيدِه وكلُّ بيعٍ مبرورٍ
Nabi shallallaahu álaihi wa sallam ditanya: ‘Pekerjaan apakah yang paling baik?’ Maka beliau shallallaahu álaihi wa sallam menjawab. “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 16814). Maksud mabrur adalah tidak ada penipuan dan khianat dalam jual beli tersebut.
Ijab dan Qabul dalam Jual Beli
Akad jual beli teranggap sah dengan adanya ijab dari penjual dan qabul dari pembeli, meskipun dalam keadaan bercanda.
Makna ijab adalah lafadz akad yang jelas yang menunjukkan kepada tamlik (perpindahan kepemilikan dari penjual ke pembeli). Contoh-contohnya adalah
- Saya menjual radio ini dengan 1 juta rupiah. (Uang 1 juta ini bisa diganti dengan harta lainnya, seperti emas atau beras atau sepeda.)
- Radio ini menjadi milikmu dengan 1 juta rupiah.
- Aku menjadikan engkau memiliki radio ini dengan 1 juta rupiah
- Aku menghibahkan kepadamu radio ini dengan 1 juta rupiah.
- Aku menjadikan barang ini untukmu dengan 1 juta rupiah. Khusus untuk bentuk lafadz ini, disyaratkan adanya niat bahwa ini untuk jual beli karena lafadz ini merupakan kiasan.
Makna qabul adalah lafadz akad yang jelas yang menunjukkan tamalluk (proses memiliki oleh pembeli). Contoh-contohnya adalah
- Aku membeli radio ini dengan 1 juta rupiah.
- Aku memiliki radio ini dengan 1 juta rupiah.
- Aku menerima
- Aku ridho
- Aku mengambilnya
Alasan yang mendasari perlunya ijab qabul ini adalah adanya syarat keridhaan dalam jual beli, sebagaimana dalam sabda Rasulullaah shallallaahu álaihi wa sallam,
إنَّما البيعُ عَن تراضٍ
“Jual beli itu hanya dengan keridhaan.” (HR. Ibnu Majah 2185) .
Keridhaan adalah sesuatu yang tersembunyi di dalam hati, sehingga lafadz ijab qabul jual beli ini diperlukan untuk menunjukkan hal tersebut.
Sahkah Jual Beli Tanpa Ijab Qabul?
Sebagaimana penjelasan di atas, ijab qabul dipersyaratkan untuk keabsahan jual beli. Hal ini adalah pendapat mu’tamad (resmi) dalam madzhab Imam Asy Syafii. Sehingga, praktek jual beli muáathah (tanpa ijab dan qabul) adalah jual beli yang tidak sah. Konskuensi dalam hukum di dunia, pertukaran yang terjadi adalah sebagaimana pertukaran jual beli yang fasid (rusak), sehingga penjual dan pembeli memiliki kewajiban untuk mengembalikan masing-masing barang yang sudah diambil jika masih ada atau kewajiban untuk menggantinya jika sudah rusak/musnah. Dalam hukum di akherat, tidak ada tuntutan terkait harta tersebut jika masing-masing item tidak dikembalikan. Hal ini karena perpindahan yang terjadi didasari atas thiibun nafs (kelapangan hati). Namun, pelaku jual beli tersebut terancam mendapatkan hukuman di akherat karena melakukan akad yang fasid (rusak).
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa dalam madzhab Imam Abu Hanifah, jual beli tanpa ijab dan qabul teranggap sah untuk benda-benda yang remeh (seperti roti atau daging, bukan benda-benda yang penting seperti hewan tunggangan atau tanah) selama praktek tersebut sudah dikenal sebagai jual beli. Bahkan, menurut madzhab Imam Malik, jual beli muáathah adalah sah untuk seluruh jenis benda tanpa pengecualian.
Bentuk praktek jual beli tanpa ijab qabul adalah sebagai berikut: penjual dan pembeli bersepakat untuk menjual dan membeli suatu barang dengan harga tertentu, namun tidak menyebutkan lafadz ijab atau qabulnya.
Ada beberapa bentuk lafazh dialog yang teranggap SAH sebagai ijab dan qabul diantaranya sebagai berikut:
- Jika ada seorang perantara yang bertanya ke penjual, ‘apakah Engkau menjual?’ Kemudian penjual menjawab, ‘Ya.’ Lalu, perantara tersebut bertanya ke pembeli, ‘Apakah Engkau membeli?’ Kemudian pembeli menjawab, ‘Ya.’
- Begitu pula jika pertanyaan berasal dari penjual ke pembeli, ‘Apakah Engkau membeli?’ Kemudian dijawab oleh pembeli, ‘Ya.’ Atau jika pertanyaan berasal dari pembeli, ‘Apakah Engkau menjual?’ Kemudian dijawab oleh penjual, ‘Ya.’
Syarat Sahnya Ijab dan Qabul
Ijab dan qabul teranggap sah jika memenuhi beberapa syarat berikut:
- Ijab dan qabul tidak dijeda/dipisahkan dengan diam yang lama antara ijab dan qabul. Jika jeda diamnya sebentar, maka tidak mengapa.
- Ijab dan qabul tidak dijeda dengan perkataan/lafadz ajnabi (tidak terkait dengan akad, baik konskuensi akad ataupun kemaslahatannya), meskipun sedikit.
o Contoh yang masih terkait konskuensi akad adalah pengembalian barang jika terdapat cacat.
o Contoh yang masih terkait kemaslahatannya adalah syarat terkait barang gadai atau saksi.
Perkataan-perkataan tersebut tidak merusak akad ijab dan qabul meski memisahkan antara ijab dan qabul. - Ijab dan qabul harus sesuai secara makna. Sehingga jika terjadi perbedaan, ijab dan qabul menjadi tidak sah. Contoh bentuk-bentuk yang TIDAK SAH adalah:
o Penjual: ‘Saya menjual kepadamu dengan 500 ribu.’ Pembeli: ‘Saya membeli dengan 400 ribu’ atau ‘Saya membeli dengan 600 ribu.’
o Penjual: ‘Saya menjual kepadamu 500 ribu secara kontan.’ Pembeli: ‘Saya membeli 500 ribu secara tertunda.’
o Penjual: ‘Saya menjual kepadamu secara tertunda selama 1 bulan.’ Pembeli: ‘Saya membeli secara tertunda selama 2 bulan.’ - Tanpa ta’liq (menggantungkan akad dengan hal lainnya), misalnya: ‘Jika kudamu mati, saya telah menjual sepedaku ini kepadamu.’
- Tanpa ta-qiit (pembatasan waktu kepemilikan), misalnya: ‘Saya menjual sepeda ini kepadamu selama 1 bulan saja.
——————————
Adid Adep Dwiatmoko (Santri Mahad Darussalam Angkatan 4)
Murajaáh : Ustadz Agus Waluyo hafizhahullaah.