Al Imam Az zanjani dalam takhrijul furu’ ‘alal ushul-nya menyebutkan dalam masalah ke-2: al ‘illah al qōshiroh. ‘Illah adalah suatu makna yang berkonsekuensi adanya hukum, sebagaimana disebutkan Al Imam Asy Syirōzi dalam Al-luma’.
Para ulama ushul membagi ‘illah menjadi qōshiroh dan muta’addiyah yang masing-masing nya bisa manshushoh (yang tersebut langsung di dalam nash/tersurat) dan mustanbathoh (yang digali, tidak disebut langsung oleh nash/tersirat). Al-‘illah al qōshiroh adalah ‘illah yang terbatas pada suatu nash saja (al ashl) dan tidak terdapat pada selainnya (al far’u). Sementara, al illah al muta’addiyah adalah ‘illah yang terdapat pada nash (al ashl) dan juga pada selainnya (al far’u). Contoh ‘illah muta’addiyah manshushoh adalah sabda Rasulullah sallallahu alaihi wasallam tentang kucing:
إنها ليست بنجس إنها من الطوافين عليكم والطوافات
‘Illah ini jelas disebutkan (manshush) yaitu karena kucing termasuk hewan yang banyak beredar di sekitar kita. Ia juga bersifat muta’addiyah kepada selain yang disebutkan di dalam nash seperti tikus misalnya dengan ‘illah yang sama yakni hewan yang banyak beredar di sekitar kita. Adapun contoh ‘illah qōshiroh manshushoh adalah wajibnya kafaroh bagi yang bersenggama di siang hari bulan ramadhan , contoh ‘illah qōshiroh mustanbathoh adalah misalnya safar yang boleh untuk berbuka (tidak berpuasa)
Perlu diketahui bahwa disini terjadi khilaf ushuliy antara hanafiyyah dan syafi’iyyah. Menurut madzhab kami ta’lil (beralasan) dengan al illah al qoshiroh itu shohih, sementara menurut Al imam abu hanifah rahimahullah hal itu bathil. Guru kami, Asy syaikh Sa’ad Asy syitsri hafidhohullah berkata bahwa para ulama’ sepakat akan bolehnya ta’lil dengan ‘illah qoshiroh manshuhoh, adapun yang diperselisihkan oleh para ulama ushul adalah ta’lil dengan al illah al qoshiroh al mustanbathoh. Lebih lanjut lagi beliau mengatakan sumber khilaf itu adalah apakah faidah ta’lil itu. Oleh karenanya Imam Az zanjani rahimahullah menyebutkan bahwa mereka (hanafiyyah) berpendapat bahwa illah qoshiroh itu tidak ada faidahnya karena tidak bisa menetapkan hukum apapun selain apa yang ditetapkan oleh di dalam nash tersebut.
Berangkat dari khilaf ushuliy ini maka terjadi khilaf apakah hukum di dalam nash itu disandarkan kepada nash nya saja ataukah ia disandarkan kepada ‘illah-nya? Maka dalam madzhab kami ia disandarkan kepada nash-nya, sementara mereka mengatakan bahwa ia disandarkan kepada ‘illah-nya.
Dari khilaf ushul ini kita lihat contoh khilaf dalam furu’-nya seperti pada dua contoh berikut ini:
- Kotoran yang keluar dari selain dua jalan tidak membatalkan wudlu karena ‘illah-nya terbatas pada apa yang disebutkan dalam nash Sementara mereka, hanafiyyah berpendapat bahwa itu membatalkan wudlu karena ‘illah-nya adalah keluarnya najis tersebut dari tubuh.
- Batalnya puasa karena makan dan minum pada siang hari ramadhan tidak wajib kafarah karena ‘illah akan kafarah sebagaimana disebutkan di dalam nash yaitu hanya untuk yang batal karena bersenggama. Sementara mereka, hanafiyyah berpendapat bahwa, kafarah itu umum baik yang karena senggama atau selainnya, karena ‘illah-nya adalah batalnya puasa secara umum.
Allahua’lam bi-sh showab
Ditulis oleh al faqir ‘ila rahmati robbihi
Farid Fadhillah
Riyadh, 8 ramadhan 1440 H